Rabu, 14 Oktober 2009

TEOLOGI PERNIKAHAN DALAM PERJANJIAN LAMA

Edi P. Labang
Pemahaman tentang arti dan makna pernikahan pada masa kini, seakan-akan sudah tidak diperlukan lagi, hal ini sangat nampak di mana tidak sedikit orang yang melakukan kawin-cerai, dan nilai-nilai perkawinan sudah diabaikan.
Gereja Inggris memberikan definisi pernikahan sebagai berikut: Pernikahan adalah karunia, sehingga suami dan istri dapat saling menghibur, dan saling menolong satu dengan yang lain, hidup setia bersama dalam kekurangan dan kekayaan, dalam duka dan suka. Ia adalah karunia, sehingga dengan kesenangan dan kelembutan mereka dapat saling mengenal dalam kasih, dan melalui hubungan tubuh mereka, dapat menguatkan hati dan hidup mereka. Ia adalah karunia, sehingga dapat mempunyai anak-anak dan diberkati dalam membesarkan mereka[1].
Sedangkan menurut J. H. Olthuis, pernikahan adalah penyatuan yang mutual, eksklusif, seumur hidup, dan satu daging antara suani dan istri yang bercirikan troth[2].
Dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani, kata menikah bisa berarti diberikan atau bisa berarti diambil dalam pernikahan; tak ada satu pun kata yang menyiratkan makna perjanjian untuk bersama antara dua pihak yang setara. Dalam bahasa Ibrani terdapat lebih dari lima kata yang berbeda yang digunakan untuk menunjukkan hubungan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan mulai dari ba’al (menguasai atau memiliki), kemudian ownah (hal-hak suami-istri) hingga halal (bersinar, memuji atau berharga – Mazmur 78) dan nasa (mengangkat atau memikul). Kebanyakan pasangan hanya merujuk pada tinggal bersama atau menjadi laki-laki atau perempuan yang berperan sebagai rekan sekerja bagi yang lain. Menariknya, kebanyakan pernikahan pada masa Alkitab adalah sekuler, sebagaimana pernikahan-pernikahan itu masa kini. Hanya orang-orang yang religius yang meminta berkah rabi dalam perayaan[3].

Pernikahan Dalam Budaya Israel
Dalam kepercayaan orang Yahudi, pernikahan sangatlah penting untuk memenuhi perintah Tuhan. Perintah tersebut tidak hanya didasarkan atas perintah yang terkenal untuk “berkembang biaklah dan bertambah banyaklah “ (Kej. 1:22), tetapi juga atas frase, “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja; akau akan menjadikan penolong (ayzer = orang yang memelihara) baginya...dst. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:18, 24).
Kitab Talmud menyatakannya dengan sedikit lebih ringkas: “Dia yang tidak mempunyai istri bukanlah laki-laki” (Yebamot 63a). Nilai pernikahan bagi seorang laki-laki sangat sering ditekankan di dalam naskah-naskah Yahudi (ini tidak mengejutkan karena semua naskah ditulis oleh para sarjana laki-laki), tetapi Talmud juga benyak memberikan perhatian pada hak-hak para istri – dari yang bersifat ekonomi hingga seksual. Seorang laki-laki diharapkan mengasihi istrinya seperti dia mengasihi dirinya sendiri dan untuk menghormatinya lebih dari dia menghormati dirinya sendiri (Yebamot 62b).[4]
Biasanya orang tua lelaki yang memilih calon istri puteranya dan mengatur pernikahan, seperti dilakukan Hagar dan untuk Ismail (Kej. 21:21) dan Yehuda untuk Er (Kej. 38:6). Kadang-kadang si pemuda yang memilih, dan orang tuanya membicarakan pernikahan, dalam hal Sikhem (Kej. 34:4, 8) dan Simson (Hak. 14:2). Jarang seorang Pemuda menikah di luar kehendak orang tuanya, seperti yang dilakukan Esau (Kej. 26: 34-35).[5] Hal ini mungkin dikarenakan budaya pernikahan orang Yahudi, seperti sebagian besar budaya lain, diatur oleh para orang tua, biasanya di dalam keluarga sendiri yang lebih luas atau bila hubungan dengan keluarga lain dianggap menguntungkan dan walaupun harus dipastikan bahwa pasangan muda itu cocok, cinta tidak dinggap penting. Anak-anak perempuan dan laki-laki ditunangkan pada saat mencapai pubertas dan menikah pada tahun berikutnya. Didukung lagi, adakalanya orang tua perempuan yang memilih calon suami yang pantas seperti dilakukan Naomi (Rut 3:1-2) dan Saul ( 1 Sam. 18:21).
Pada saat sebelum menikah, seorang wanita berada di bawah otoritas ayahnya, dan setelah wanita tersebut menikah, ia berada di bawah otoritas suminya. Seorang suami dipanggil ba’al atau “tuan” oleh istrinya, karena ia adalah ba’al dari sebuah keluarga atau field (Kel. 21:3, 22; 2 S II :26; Pr. 12:4 dst). Seorang wanita yang telah menikah oleh karena itu menjadi “milik” ba’alnya (Kej. 20:3; Ul. 22:22). Sesungguhnya ‘mengawini seorang wanita’ diungkapkan dengan kata ba’al, yang memiliki maksud akar kata ‘ menjadikan tuan’ (Ul. 21:13; 24:1).[6] Dalam budaya patriakhal seorang perempuan tinggal di rumah keluarganya sebagai tempat tinggalnya. Perempuan yang menikah akan membentuk rumah bersama dengan suami dan anak-anaknya, dan seorang laki-laki harus menikah dengan perempuan yang masih satu suku bukan dengan perempuan asing bahkan secara endogamy agar ibadah kepada Tuhan tidak tercemar (Kej. 24:4; 28:1-2).[7]
Ia (istri) harus menyiapkan makanan, membakar roti, mencuci, memasak, menyusui anak-anak, mengatur tempat tidur suami, dan pada waktu luangnya mengolah bulu domba dengan memintal dan menenun. Istri wajib taat mutlak kepada suaminya, dan suami menjadi tuannya (pada kenyataannya suami disebut rab) dan ketaatannya menjadi kewajiban keagamaan.[8]
Dalam pernikahan orang Israel juga dikenal istilah Mohar, yakni uang penganti dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dan itu memateraikan perjanjian yang mengikat kedua pihak. Mohar atau Mahar bisa berupa uang, permata, properti atau apapun yang dianggap bernilai oleh kedua keluarga.
Sebagaimana yang mungkin dikira, tata aturan di sekitar hari pernikahan Yahudi agak rumit. Tak seorang pun boleh menikah pada saat pesta supaya tidak mengacaukan perayaan-perayaan atau menganggu ketenangan hari Sabat. Seorang perawan melaksanakan pernikahan pada setiap Rabu sore sehingga memungkinkan suaminya mengajukan keberatan secara formal ke pengadilan Sanhedrin – yang digelar setiap Kamis – bila pada malam pernikahan diri sang suami mendapati ketidakmurnian mempelainya. Para janda melaksanakan pernikahan pada setiap kamis ketika tidak ada keberatan yang sama sahnya terhadap mereka. Mempelai perempuan mengenakan kerudung perkawainan – wajah dan rambutnya harus tertutup untuk upacara yang sesungguhnya – dan terdapat entah sebuah kerudung yang dijereng menutupi pasangan tersebut atau sebuah tenda yang didirikan agar pernikahan terjadi di dalam. Saat ini hal itu dikenal sebagai sebuah chupah – sebuah kelambu di atas empat batang galah di mana pernikahan berlangsung di bawahnya. Chupah yang menutupi kadang-kadang bisa merupakan talit atau syal doa seorang laki-laki. Pada masa kuno dan mungkin masih berlangsung pada zaman Yesus, pasangan pengantin memakai mahkota, sebagaimana masih dipergunakan dalam perkawinan-perkawinan Yunani ortodoks. Cabang pohon palma dan cabang pohon mirtus diangkut ke depan mereka dan butir-butir padi-padian atau uang dilemparkan sebagai konfeti. Prosesi diawali dengan musik dimana semua orang yang dilewatinya diharapkan bergabung – sebagai sebuah kewajiban religius. Para gadis yang membawa lampu di atas tongkat layaknya obor (gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh dalam Matius 25:1) memandu calon pengantin laki-laki menemui mempelai perempuannya dan perayaan dilanjutkan dengan pesta-pesta yang akan berlangsung selama satu minggu penuh. Kedua mempelai diharapkan bisa menjaga diri mereka sendiri selama seminggu itu untuk melakukan persetubuhan sebanyak mungkin – karena itu diceritakan dalam Kitab Kejadian ketika Yakub terkalabui sehingga menikahi Lea bukannya Rachel yang dicintainya, anak-anak perempuan ayah Rachel memberitahu Yakub untuk “mengenapi tujuh hari perkawinannya”(Kej. 29:27) sebelum sang ayah memberikan Rachel kepada yakub menjadi mempelai perempuannya juga.[9]

Teologi Pernikahan Dalam PL

Kitab Kejadian 1 dan 2
Kitab Kejadian pasal 1 dan 2 terbagi dalam dua sumber penulisan, yakni: 1-2:4a berasal dari sumber P. Di situ diceritakan tahap-tahap kejadian alam semesta dan isinya, yang semuanya terjadi karena firman Allah yang berkuasa. Kejadian-mula itu mencapai puncaknya dengan diciptakannya manusia laki-laki dan perempuan sekaligus. Akan tetapi di dalam pasal 2: 4b-25 berasal dari sumber Y, di mana menurut sumber Y yang mula-mula dijadikan adalah manusia laki-laki sedangkan manusia perempuan dijadikan sesudah itu. Dari kedua sumber yang berbeda ini, sebenarnya mempunyai pesan masing-masing tentang penciptaan laki-laki dan perempuan.
Sumber Y ingin menjelaskan kepada pembacanya bagaimana keadaan manusia itu sebelum dan sesudah mereka dicitakan, kekurangan dan kelebihan masing-masing sebelum bertemu (Adam dan Hawa) seperti yang dikatakan ”Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia (Kej. 2:18). Jadi dapat kita simpulkan bahwa pesan teologis yang hendak disampaikan oleh penulis Y , di mana pertemuan antara laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa) itu adalah inisiatif dari Allah sendiri. Allah yang berkehendak agar manusia itu memiliki rz<[Eß (ezer) penolong yang D*g>n< (neged) yang artinya sepedan atau seimbang walau keduanya tidak sama. Pernikahan itu adalah kehendak dari Allah sendiri, yang menginginkan agar manusia ciptaan-Nya itu tidak merasa asing dan kesepian di tengah-tengah ciptaan-Nya yang lain, karena dengan memberikan seorang penolong yang sepadan, Allah tahu yang terbaik bagi manusia itu. Allah tidak meberikan penolong yang di atas dan di bawah kuasa seorang laki-laki, tetapi Ia memberikan yang sepadan dengannya sebagai manusia ciptaan Allah. Artinya perempuan diciptakan sebagai mitra yang sejajar dengan laki-laki. Penolong yang sepadan dengan dia, tidak mungkin berarti pembantu. Yang menarik dari sumber Y dalam Kej. 2 adalah dalam ayat 24 yang mengatakan: Laki-laki akan meninggalkan ibu-bapaknya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi sedaging, yaitu kesatuan yang fana. Ikatan suami istri lebih kuat dari ikatan ayah-anak di dalam marga, fam dan sebagainya.[10] Fokus utama pada aspek ”menyatu” dari hubungan pernikahan dan seksualaitas itu sendiri sebagai ekspresi kasih.
Dari sumber P, cerita penciptaan manusia dibuat dalam versi yang berbeda dan sangat sistematika, yakni dalam Kej. 1:26-31. Penciptaan manusia ini juga merupakan inisiatif dari Allah sendiri. Manusia laki-laki dan perempuan diciptakan Allah, karena Ia mempunyai amanat khusus bagi mansia tersebut. Allah di dalam inisiatif dan amanat-nya tersebut memberkati mereka, sebab apa yang Ia ciptakan amat baik.
Kesimpulan telogisnya adalah di mana pernikahan itu merupakan amanat dari Allah sendiri bagi manusia, yang tujuannya amat baik menurut Allah, sebab di dalam amanat-Nya, Allah juga memberkati pernikahan manusia. Keduanya diberkati dan diberikan kuasa.
Jadi pernikahan menurut kitab Kejadian 1 dan 2 merupakan inisiatif dari Allah sendiri, karena Allah memiliki amanat khusus dalam dalam pernikahan itu sebab Allah memandang itu baik sehingga Ia memberkati pernikahan tersebut.
C. Barth mengatakan bahwa Kejadian 1 dan 2 sepakat melihat manusia dalam bentuk laki-laki dan perempuan sebagai mitra yang setingkat-sederajat yang hendak saling menolong, bukan dalam keluarga saja, melainkan juga dalam masyarakat luas. Demikianlah manusia menurut rencana Allah.

Kitab Ulangan
Sumber D menceritakan bahwa para penulis kitab Ulangan bergumul dan bergulat bagi kelestarian bagsa Israel sebagai umat Allah yang khusus. Israel Utara telah musnah, tinggal Israel Selatan yang harus dipertaruhkan, sebab pada saat itu Yerusalem sedang menghadapi masa yang sulit, yaitu ancaman kekafiran dan penyembahan berhala yang dipimpin oleh raja Manasse. Para penulis Kitab Ulangan merencanakan perlunya Reformasi dan pembaharuan hidup.[11]
Reformasi ini juga menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti teks berikut ini yang mengatakan ” Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki” (Ul. 7:3). Larangan untuk mengambil istri di luar dari bangsa Israel. Larangan ini hendak menekankan bahwa adat dan kekayaan kaum kafir mudah menjadi jerat (7:16, 25), sehingga umat itu melupakan utang-budinya terhadap Tuhan serta meninggalkan ketaatannya. Teks-teks ini tentu dilatarbelakangi pada masa penulisan pertama dari D, mereka sedang diancam oleh sinkretisme di utara.
Perkembangan selanjutnya[12], dalam pasal 21:11-14 adalah menarik bahwa rasa curiga terhadap pernikahan dengan wanita asing, seperti yang nampak pada periode post-pembuangan (Ezra 9:2; 10:2; 10:10; Neh. 13:27) tidak kelihatan dalam perikop ini. Sebagaimana ditekankan dalam kitab Ulangan, ciri-ciri keimanan Israel ditentukan oleh kehadiran kaum laki-laki (bapa dan suami) di hari-hari raya (Ul. 16:16), dan oleh kebiasaan bahwa ajaran yang diterima di situ oleh kaum laki-laki, diteruskan kepada anggota-anggota rumahtangga masing-masing, (Ul. 6:20). Peranan umat itu dalam pemeliharaan kemurniaan agama digaris-bawahi juga oleh mazhab Ulangan dalam menekankan pemusatan ibadat di Bait Suci Yerusalem (12:12, 18; 16:11, 14). Selama struktur keagamaan yang demikian dapat diperahankan dalam keadaan utuh, pernikahan dengan wanita asing yang berasal dari lingkungan lain, tidak dianggap mengandung unsur bahaya. Karena dengan demikian, faktor utama yang menentukan iman anak-anak bukanlah ibu, melainkan jemaat.
Teks-teks di atas yang mengatur tentang pernikahan harus dilihat sebagai usaha para penulis Kitab Ulangan yang berusaha menonjolkan keterpilihan dan kekhususan bangsa Israel sebagai umat Allah. Kepada Allah sajalah bangsa Israel harus setia.

Kitab Imamat 18:1-30 dan 20:1-27
Dengan ringkas, tujuan dari kitab Imamat adalah memeperlihatkan kepada umat Israel cara bagaimana seharusnya mereka hidup sebagai umat yang kudus, yaitu sebagai umat yang dengannya Tuhan masuk hubungan perjanjian dan yang dipilih serta dipanggil untuk melayani Dia. Hukum-hukum asasi yang terdapat dalam kitab ini terlebih-lebih mengenai ibadah, kekudusan, kenajisan, perbedaan antara yang haram dan yang halal, dan kelakuan etis dalam kehidupan sehari-hari. Dan hukum-hukum itu dikumpulkan supaya umat Israel tetap berhubungan baik dengan Tuhan dan mengadakan pendamaian juka mereka bersalah.[13] Peraturan-peraturan yang sangat ketat, terutama kita lihat dalam kitab Imamat pasal 18:1-30 dan 20:1-27 (yang di dalamnya terdapat paraturan-praturan atau hukum-hukum yang mengatur tentang pernikahan).
Orang-orang Israel diperingatkan secara keras supaya mereka jangan menjadi serupa dengan cara kehidupan orang-orang asing, sama seperti orang-orang Mesir dan Kanaan. Mereka harus menjauhkan dirinya sendiri dari kebiasaan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Jika tidak, maka mereka kehilangan makna dan perannya dalam rencana Tuhan itu. Ayat 7-8 (pasal 18:1-30) berisi suatu daftar hukum yang sangat kuno, pada saat keluarga-keluarga Israel hidup dalam perkemahan-perkemahan, yang ingin menekankan bahwa hubungan seksual dilarang di antara kerabat-kerabat yang dekat, dan orang harus menghormati baik perkawinan maupun kemurniaan anak-anak dara yang tinggal dalam keluarga besar itu. Hukum-hukum lain, yang melarang bermacam-macam hubungan seksual yang tidak normal, ditambah dalam ayat 19-23, mungkin dalam beberapa tahap. Hubungan-hubungan itu termasuk hubungan dengan perempuan pada waktu camar kainnya yang menajiskan, zinah, hubungan homoseks serta hubungan dengan binatang, karena perbuatan-perbuatan demikian bersifat keji dan menajiskan orang, dan kekudusan nama Allah dilanggar.[14]
Jadi pernikahan menurut Kitab Imamat, berkaitan erat dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang sangat menekankan keteraturan dan kekudusan Allah. Pernikahan diatur dalam hukum dan peraturan di mana tujuannya adalah menjaga kekudusan hidup dan pernikahan seperti yang dikendaki oleh Allah. Sebab pernikahan adalah kudus.

Kitab Ezra dan Nehemia
Mulai zaman Ezra dan selanjutnya maka ke- Yahudi-an manjadi agama hukum. Kesalehan sama dengan ketekunan untuk mempelajari hukum-hukum agama dan menaatinya. Nehemia menegakkan kembali imamat orang Lewi, persembahan persepuluhan (Neh. 13:10-14), memberlakukan hari Sabat (Neh. 13:15-22) dan melarang perkawinan campuran (Neh. 13:23-27).[15] Sikap menetang perkawinan campur seperti yang terdapat dalam Ezra 9:2 yang mengatakan ” Karena mereka telah mengambil isteri dari antara anak perempuan orang-orang itu untuk diri sendiri dan untuk anak-anak mereka, sehingga bercampurlah benih yang kudus dengan penduduk negeri, bahkan para pemuka dan penguasalah yang lebih dahulu melakukan perbuatan tidak setia itu”, ayat ini mengambarkan bahwa ketika kehidupan relasi antara mereka dengan Allah rusak, maka status mereka sebagai umat pilihan Allah akan hilang,[16] dan yang terdapat dalam Neh. 13:23-27.
Jadi perkawinan campur menurut Ezra dan Nehemia dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup kudus bangsa itu. Jadi pernikahan dalam kitab Ezra dan Nehemia adalah kembali kepada hukum-hukum dan peraturan-peraturan ke Yahudi-an, demi kekudusan sebuah bangsa.
Akan tetapi sikap eksklusifisme seperti ini ditantang oleh universalisme Deutero-Yesaya, Trito-Yesaya, Yunus dan Rut. Keempat kitab yang disebutkan terakhir ini ditulis segera setelah masa Ezra dan Nehemia, untuk mengembalikan Israel kepada panggilannya yang semula: menjadi berkat bagi bangsa-bangsa di dunia.[17]

Kesimpulan Teologis Dan Relevansinya
Dari penjelasan di atas dapatlah kita mengambil kesimpulan teologis serta relevansi dari pernikahan menurut Perjanjian Lama, bahwa:
- Pernikahan itu adalah inisiatif dari Allah sendiri, karena Allah memiliki amanat
khusus dalam pernikahan itu sebab Allah memandang itu baik sehingga Ia memberkati pernikahan tersebut.
- Rancangan Allah bagi pernikahan adalah Monogami. Tapi poligami dibiarkan sejak zaman Lamekh (Kej. 4:19) dan tidak dilarang dalam Alkitab. Namun poligami secara jelas menimbulkan ketegangan (Ul. 21:15), kesukaran-kesukaran, dan sering menimbulkan dosa, misalnya Abraham (Kej. 21); Gideon (Hak. 8:29-9:57); Daud (2 Sam. 11:13); Salomo ”Doyan seks dan penyembah berhala” (1 Rj. 11:1-8), terjadi permusuhan di dalam rumah tangga (1 Sam. 1:6; bnd. Im. 18:18). Poligami jelas diperbolehkan pada zaman Alkitab, hal ini dikarenakan anak sangat penting dalam kelanjutan nama keluarga, maka istri yang mandul memperbolehkan suaminya untuk berpologami[18]. Meskipun demikian, ’ itu bukan merupakan sesuatu yang biasa terjadi. Secara formal dilarang bagi orang-orang Yahudi Ashkenazi sampai abad kedua belas. Tidak ada peraturan demikian bagi orang-orang Yahudi Sephardi sehingga, secara teknis, bila mereka tingga di tempat-tempat di mana poligami diperbolehkan, para laki-laki Yahudi Sephardi masih boleh memiliki lebih dari satu istri’[19]. Dalam PB Yesus (Mat. 19:4) dan Rasul Paulus (Ef. 5:31; 1 Kor. 7:2; 1 Tim. 3:2, 12; Tit. 1:6) menegaskan kembali konsep monogami itu. Model tersebut ditekankan dengan fakta bahwa gambaran Pernikahan sebagaimana digunakan dalam Alkitab adalah model untuk hubungan Yahwe dengan Israel dan antara Kristus dan Gereja.
- Allah merancang pernikahan sebagai penyatuan heteroseksual. Ia menyediakan Adam ”dengan penolong yang kebalikan dari dirinya dan bukan laki-laki yang lain...tetapi dengan ’isshah’ perempuan itu.” Ini adalah penyatuan untuk mana prokreasi dirancang. Maka homoseksualitas adalah penyimpangan dari maksud asli Allah bagi seksualitas manusia. PB berbicara secara negatif mengenai tindakan homoseksual
( 1Kor. 6:9; 1 Tim. 1:1:10). Konteks ayat-ayat ini adalah imoralitas orang-orang kafir.[20]
- Pernikahan adalah kudus, karena itu kita harus bersikap kritis terhadap adat dan
Kebudayaan (baik dari secara intern maupun ekstern), jangan sampai adat dan kebudayaan yang ”tidak baik” menghilangkan nilai-nilai kekristenan. Akan tetapi kebudayaan yang baik harus tetap dipelihara.
- Pernikahan tidak hanya menyangkut masalah cinta dan suka tetapi pernikahan sangat berhubungan dengan hukum-hukum dan peraturan yang bersifat kultus, di mana tujuannya adalah untuk menjaga kekudusan sebuah bangsa, nama baik lembaga, masyarakat dan pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak hanya menyangkut kedua pihak laki-laki dan perempuan, tetapi berhubungan dengan orang lain juga.
- Pernikahan berbicara soal keteraturan dan kekudusan Allah.
- Pernikahan campur diijinkan asalkan dapat bersama menjadi satu iman kepada Allah.
- Sikap eksklusif dalam adat atau budaya pernikahan akan menghilangkan panggilan kita untuk menjadi berkat bagi adat dan budaya lain.

[1] Daniel Tanusaputra, Teologi Pernikahan dan Keluarga, Veritas 6/1 (April 2005), SAAT, hal. 73-101
[2] Troth adalah istilah bahasa Inggris yang kuno untuk kesetiaan, kebenaran, kepercayaan, kasih dan komitmen.
[3] Maggy Whitehose, hal. 155.
[4]Bdg. Maggy Whitehose, hal. 94.
[5] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini – Jilid II, OMF , Jakarta 2004, hal. 155; Bdg. The New Bible Dictionary, Inter – Varisity Press, England 1988, hal. 788.
[6] Roland de Voux, O.P. ANCIENT ISRAEL Its Life and Institutions, Trans. JHON McHUGH, Darton, Longman, London, hal. 26 bnd. The Interpretation’s of The Bible, Vol. 4 Abingdon Press, New York 1962, hal. 279-280
[7] David Noel Fereedman, The Anchor Bible Dictionary Vol. 6 Si-Z, Doubleday, New York, hal. 952-953
[8] Bnd. Luis M. Bermejo, Misteri dan Makna kebangkitan Yesus, Kanisius 2009
Catatan Tambahan: Setiap Aspek pernikahan tercakup dalam Talmud – Tujuh bagian di antaranya menyangkut perempuan (Nashim). Ketujuh bagian itu adalah: Yevamot (Levirates, yaitu saudara laki-laki pihak suami), Ketubbot (Perjanjian Pernikahan), Nedarim (janji), Nazir (janji hidup selibat orang Nazir), Sota (Seorang perempuan terdakwa perzinaan), Gittin (perceraiaan) dan Qiddushin (upacara Pernikahan).
[9] Ibid, Maggy Whitehose, hal. 142-144 serta bnd. Juga dengan tambahannya di Ensiklopedi Alkitab Masa Kini – Jilid II, hal. 155-156
[10] Dr. Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama 1, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 2002, hal. 38-39
[11] Prof. S. Wismoady Wahono Ph.D, DI SINI KUTEMUKAN, PT. BPK. Gunung Mulia, Jakarta 2004, hl. 69.
[12] Kita dapat melihat bahwa periode penulisan dari tradisi D, cukup panjang oleh sebab itu beragam perkembangan tentang pernikahan dapat kita jumpai (bnd. Prof. S. Wismoady Wahono Ph.D, DI SINI KUTEMUKAN, hal. 68)
[13] Pdt. Dr. Robert M. Peterson, Tafsiran Kitab Imamat, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008, hal. 14
[14] Ibid, hal. 253-254.
[15] Ibid, Prof. S. Wismoady Wahono Ph.D, hal. 261.
[16] Bnd. F. Charles Fensham, The New International Commentary On The Old Testament (The book Of Ezra and Nehemiah), Grand Rapids, Michigan 1991, hal. 125.
[17] Ibid, hal. 261
[18] Sebagai Tambahan: Poligami diijinkan, tetapi tidak banyak laki-laki yang mampu mempunyai dan menghidupi dua istri.
[19] Sebagai Tambahan: Pada abad pertengahan, bangsa Yahudi terpecah menjadi dua kelompok. Yahudi Ashkenazim tinggal di Eropa Barat (Istilah tersebut berasal dari sebuah kata Ibrani untuk menyebut Jerman) dan sekarang kelompok ini meliputi orang-orang Yahudi dari Eropa Utara dan Eropa Timur dan keturunan mereka beremigrasi ke Amerika. Orang-orang Yahudi Sephardim (Dari sebuah kata Ibrani untuk menyebut Spanyol), tinggal de semenanjung Iberia dan istilah tersebut sekarang meliputi orang-orang Yahudi di Mediterenia, Balkan, Aegea, dan Timur Tengah.
[20] Ibid Daniel Tanusaputra, hal. 87