Senin, 23 November 2009

KETIKA POLITIK MASUK GEREJA


Kontroversi tentang boleh tidaknya berpolitik di dalam gereja, telah menjadi pergumulan yang cukup serius dalam banyak gereja pada saat ini.
Ada gereja yang memandang politik sebagai sesuatu yang tidak pantas bila ada di dalam gereja, artinya politik tidak baik bila masuk ke dalam gereja, karena akan menimbulkan berbagai bentuk perpecahan dalam jemaat, tetapi sebaliknya ada gereja tertentu yang membiarkan politik masuk ke dalam gereja, karena menganggap bahwa gereja adalah “bagian” dari politik itu sendiri.

Banyak contoh kasus yang terjadi di dalam gereja dalam menyikapi masalah politik, pemimpin jemaat berkampanye di mimbar, atau pun lewat pesan singkat (sms) kepada jemaatnya, menyerukan untuk memilih partai A serta mendukung si B. Tidak sedikit pula para caleg yang berkampanye langsung di dalam gereja atau membagikan sesuatu sebagai tanda minta dukungan, apa lagi bila caleg tersebut adalah orang dalam gereja itu sendiri, tentu akan lebih leluasa untuk mempengaruhi anggota jemaat agar mendukungnya.
Kasus lain misalnya, para pemimpin gereja melarang keras adanya unsur-unsur kampanye politik atau pun perdebatan politik di dalam gereja. Alasannya ialah bahwa akan terjadi perpecahan dalam jemaat, bila tidak adanya kesatuan suara, sebab setiap anggota jemaat berhak untuk memilih siapa atau mendukung siapa pun. Jadi urusan gereja jangan dicampur aduk dengan urusan politik.

Dengan melihat kenyataan yang ada saat ini, sebenarnya gereja mau tidak mau harus bergumul dalam dunia politik, karena politik pada kenyataannya telah menjadi ”tamu istimewa” yang harus disikapi secara serius dan perlu adanya solusi yang tepat. Politik mau tidak mau dan pada kenyatannya sudah merambah ke dalam gereja di mana pun itu. Ia tidak dapat dihindari lagi, dan gereja pun tidak bisa lari dari kenyataan yang ada. Bagaimana sikap gereja terhadap hal ini?. Sikap gereja yang benar adalah ”Menanamkan Kedewasaan Jemaat dalam Berpolitik”

Mengusahakan jemaat yang dewasa dalam hal berpolitik, memang tidaklah mudah. Sikap jemaat yang dewasa dalam berpolitik, artinya jemaat bisa terbuka terhadap politik, menghargai perbedaan pandangan dan pilihan dari setiap orang untuk memilih. Untuk menuju proses pendewasaan tersebut gereja memang harus bekerja keras dalam menggumuli hal ini.

a. Harus ada dalam pengajaran katekisasi
Jujur bila kita melihat pengajaran-pengajaran katekisasi di dalam gereja-gereja masa kini, kebanyakan pengajaran katekisasinya hanya menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan dogma-dogma atau doktrin-doktrin Kristen. Buku-buku katekisasi yang diperjual-belikan pun hanya membahas seputar hal tersebut saja. Sukar ditemukan pengajaran gereja atau pun buku-buku katekisasi yang membahas keseimbangan antara ”hal-hal rohani dan hal-hal yang bersifat duniawi (tidak bermaksud mempertentangkan antara hal rohani dan duniawi).

Belajar tentang masalah-masalah sosial, pendidikan kesehatan, termasuk hal perpolitikan pun, bukanlah sesuatu yang keliru atau menyesatkan bila menjadi bagian dari pengajaran katekisasi dalam gereja. Bagaimana mungkin jemaat bisa dewasa dalam segala permasalahan di luar gereja, termasuk dunia perpolitikkan, bila hanya berkotak-katik dalam pengajaran doktrin dan dogma belaka.

Seorang ahli etika mengatakan bahwa bila kita melihat diri Yesus, ada tiga hal yang perlu kita perhatikan, yakni, Hidup, Pengajaran dan karya-Nya.
Dalam pengajaran-Nya, apakah Yesus hanya mengajarkan tentang keselamatan saja?, tidak! Yesus juga mengajarkan tentang politik, keadilan sosial, ekonomi, etika dan lain sebagainya. Dalam doa Bapa Kami misalnya, (Mat. 6:9-13), ia menafsirkan bahwa isi dari pada doa tersebut penuh dengan unsur politik Yesus. Injil Markus pun, menurut sebagian ahli etika, banyak sekali diwarnai dengan politik Yesus (Mis. Mark. 10:43-44; 12:17 dsb). Dalam hal ekonomi misalnya Luk. 4:18-19 dsb.

Pada kenyataannya, sebagian gereja sangat sulit untuk terbuka dalam hal-hal yang demikian. Gereja lebih merasa aman dan nyaman hidup dalam tradisi yang sudah kaku dan baku. Jadi pengajaran katekisasi haruslah bersifat holistik, sehingga jemaat tidak hanya memakai kaca mata kuda dan sulit untuk bersikap dewasa dalam segala hal, terutama yang menyangkut perbedaan politik di dalam gereja.

b. Perlu adanya berbagai kegiatan seminar tentang politik
Seberapa seringkah gereja mengadakan pembinaan atau pun seminar-seminar tentang politik bagi jemaatnya? atau tidak pernah sama sekali?.
Gereja seharusnya perlu untuk mengadakan berbagai pembinaan yakni melaui seminar-seminar yang berhubungan dengan politik. Tidak berarti menjadikan politik segala-galanya di dalam gereja, tetapi supaya ada keseimbangan pemahaman antara yang rohani dan yang “bersifat duniawi”. Pembinaan atau pun seminar tentang politik perlu sekali bagi jemaat, terutama untuk mencapai jemaat yang dewasa dalam berpolitik, menghargai pilihan dan setiap perbedaan yang ada dalam setiap anggota jemaat.
Jemaat harus diberi masukkan dan pemahaman yang baik dan membangun, sehingga jemaat tidak buta politik dan lari dari kenyataan yang ada, tetapi berhikmat dalam menyikapi setiap situasi politik yang ada dan yang terus berkembang.

c. Tugas dari pada para pemimpin gereja
Dalam sebuah diskusi terbuka, banyak peserta yang berbagi pengalaman di daerah masing-masing tentang dampak politik dalam kehidupan bergereja.
Di suatu daerah misalnya, seorang pemimpin jemaat yang telah mendapatkan gelar kependetaan, rela terjun ke dunia politik. Jabatan kependetaannya ditinggalkan dan diganti dengan jabatan barunya yang lebih ”mantap” menurutnya. Sikap semacam ini baik, karena memang harus ada salah satu yang dipilih. Harus konsisten dan bertanggung jawab terhadap pilihan. Bila menjadi seorang pendeta, haruslah komitmen dalam menggembalakan jemaat, bila menjadi seorang politikus, haruslah komitmen dan bertanggung jawab dalam hal berpolitik.

Pemimpin gereja harus belajar politik, meskipun ia bukan seorang politikus. Ia harus mengikuti perkembangan politik yang ada. Ia adalah ”nara sumber” jemaatnya untuk bertanya dan berdiskusi tentang situasi politik yang terjadi. Ia harus menjaga kesatuan jemaat, agar tidak terpecah, dengan berhikmat dalam berbicara dan menyikapi politik, yang mau tidak mau telah masuk ke dalam gereja.


Akhirnya, Gereja pada dasarnya bukanlah tempat berpolitik atau pun menciptakan politik, tetapi politik (katakanlah yang buruk maupun yang baik) mau tidak mau telah masuk ke dalam kehidupan bergereja dan menjadi bagian dalam kehidupan gereja. Gereja harus menggumuli akan hal ini, bukan lari dari kenyataan atau pun bersikap terus tertutup dan tidak mau berbicara atau pun tidak siap bila terjadi kekacauan yang menyangkut politik di dalam jemaat. Salah satu jalan yang harus diambil adalah dengan mendewasakan para pemimpin gereja dan jemaat dalam hidup bergereja yang mau tidak mau harus terlibat dalam urusan politik, baik secara intern maupun ekstern. Baik buruknya politik, tergantung sikap kita dan pemahaman kita tentang politik itu sendiri. Banyak hal yang harus kita gumuli bersama-sama, bila kita melihat situasi politik yang ada pada saat ini, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergumulan bangsa adalah pergumulan gereja juga. Gereja hidup dan bertumbuh dalam bangsa ini, karena itu panggilan sebagai garam dan terang harus menjadi identitas yang mendarah daging dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal yang menyangkut dunia politik, sehingga kehadiran kita menjadi berkat bagi semua orang di mana pun kita berada.