Selasa, 19 Mei 2009

Tafsiran Perumpamaan Matius 21:33-46 "ANTARA KEPERCAYAAN DAN KESETIAAN"

Edi P. Labang

Pendahuluan
Salah satu keunikan dari pengajaran Yesus adalah dengan adanya perumpamaan, terutama dalam kitab Injil. Yesus tidak mengajarkan hal-hal tentang Kerajaan Allah dengan pengajaran-pengajaran yang bersifat teori belaka dan abstrak. Dalam pengajaran-Nya ia mengunakan segala sesuatu yang dikenal dan dekat dengan konteks pendengar-Nya. Dalam hal inilah Ia mengunakan banyak perumpamaan, sebab dengan perumpamaan Ia yakin para pendengarnya mengerti apa yang Ia beritakan. Tetapi sayangnya, banyak orang masa kini salah menafsirkan perumpamaan-perumpamaan Yesus, terutama dalam kitab Injil. Penafsiran mereka mengarah kepada penafsiran alegoris, sehingga pembaca kontemporer ”disesatkan”. Maka daripada itulah muncul cara penafsiran baru yang tidak alegoris, yang berusaha mencari pesan yang sebenarnya, yakni pesan yang dibawakan oleh karakter dalam perumpamaan tersebut.

Konteks Literer Perumpamaan
1. Relasi Inratekstual
Perumpamaan Penggarap-penggrap Kebun Anggur sangat erat kaitannya dengan perumpamaan-perumpamaan sebelum dan sesudahnya, yakni perumpamaan tentang dua orang Anak (21:28-32) dan perumpamaan Tentang Perjamuan Kawin (22:1-13). Perumpamaan Penggarap-penggrap Kebun Anggur muncul ketika Yesus berada di Bait Allah, Ia mengajar di situ, tetapi imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi mempertanyakan kuasa Yesus atau otoritas Yesus, sebab mereka inggin menyebak Yesus. Jadi perumpamaan ini dan kedua perumpamaan sebelum dan sesudahnya, sebenarnya untuk menjawab pertanyaan mereka tersebut.

2. Desain Literer
Dalam perumpamaan ini, terjadi perubahan suasana yang cukup mengesankan, yakni dari suasana atau tragedi di kebun anggur, berubah kepada suasana yang ada di suatu tempat yang ramai, yakni di bait Allah (21:23). Pembaca seakan-akan diajak untuk melihat sebuah drama singkat yang terjadi di kebun anggur, dimana di dalamnya ada berbagai karakter yang muncul, baik itu seorang yang terlalu percaya, serakah, pembunuh dan sampai kepada yang loyal dan setia sampai mati. Cerita ini begitu mengaharukan, sebab seorang tuan tanah harus rela kehilangan orang-orang kesayangannya yang sangat mengasihinya. Tetapi cerita ini berakhir dengan happy ending, dimana pada akhirnya tuan tanah membinasakan para penggarap yang jahat itu dan mencari para penggarap yang bertanggung jawab dan tentunya setia padanya. Perubahan suasana ke dalam bait Allah juga menegangkan, sebab imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi hendak menangkap Yesus, sebab mereka tersinggung dengan perkataan-Nya, tetapi mereka takut kepada orang banyak yang takjub pada pengajaran Yesus.

3. Latar (Setting)
Ada dua latar yang terjadi ketika Yesus menyampaikan perumpamaan ini, yakni:
a. Latar Dalam Perumpamaan
Cerita ini terjadi di lokasi kebun Anggur. Kebun Anggur sangat dikenal oleh para pendengar Yesus, ketika Ia menyampaikan perumpamaan ini. Termasuk juga orang yang kaya, yang memiliki kebun anggur yang luas, menyewakannya kepada para penggrap, hal ini mungkin lazim dilakukan oleh orang-orang di Israel. Jadi Yesus memakai gambaran-gambaran tersebut, karena itu lazim terjadi dan dikenal oleh mereka.
b. Latar Luar Perumpamaan
Latar luarnya adalah di dalam bait Allah ” Lalu Yesus masuk ke Bait Allah, dan ketika Ia mengajar di situ...” (Mat. 21:23). Ketika Yesus berada di Bait Allah, Ia mengajar di situ, tetapi imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi mempertanyakan kuasa Yesus atau otoritas Yesus, sebab mereka inggin menyebak dan menangkap Yesus, mungkin karena mereka iri hati melihat banyak orang yang senang dengan pengajaran-Nya ketimbang pengajaran mereka. Markus juga menceritakan bagaimana cara Yesus mengajar ”Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat”(Markus 1:22). Jadi perumpamaan ini sebenarnya untuk menjawab pertanyaan mereka tersebut mengenai kuasa dan otoritas-Nya, termasuk juga mengenai siapa yang akan mewarisi Kerajaan Allah.

Karakter
Dalam perumpamaan penggarap-penggarap Kebun Anggur, ada 4 karakter:
Seorang tuan tanah
Penggarap-penggarap
Kelompok hamba pertama
Kelompok hamba kedua (lebih banyak dari yang pertama)
Kelompok hamba pertama dan kedua dapat dijadikan satu karakter.
Anak dari tuan tanah

Penjelasan:
Seorang tuan tanah
Yang dikatakan: Perkataannya muncul ketika ia hendak mengutus anaknya”Anakku akan mereka segani”.
Yang dilakukan: Membuka kebun anggur, membuat pagar sekelilingnya, mengali lubang tempat memeras anggur, mendirikan menara, menyewakan kebun anggurnya kepada para penggarap, berangkat ke negeri lain, mengutus para hamba dan seorang anaknya untuk mengambil bagiannya kepada para penggarap, membinasakan para penggarap yang jahat serta mencari para penggarap lainnya yang bertanggung jawab.

Para penggarap
Yang dikatakan: Perkataan mereka muncul ketika mereka melihat Anak dari tuan tanah ”Inilah ahli warisnya, mari kita bunuh dia, supaya warisannya menjadi milik kita”.
Yang dilakukan: Menangkap, Memukul, Membunuh dan Melempari
Para hamba
Yang dikatakan: Tidak Ada
Yang dilakukan: Menagih

Anak dari tuan tanah
Yang dikatakan: Tidak Ada
Yang dilakukan: Menagih seperti para hamba

Pesan Perumpamaan
Perumpamaan ini terbagi dalam tiga bagian; pertama bagian perumpamaan ayat 33-39 kedua adalah penjelasan perumpamaan 40-46 dan bagian yang ketiga adalah dari Narator (45-46). Pesan yang dibawakan dalam perumpamaan Penggarap-penggarap Kebun Anggur adalah ”Antara Kepercayaan dan Kesetiaan”. Pesan ini muncul dari keempat karakter, yakni Tuan tanah, Para Penggarap, Para Hamba dan Anak Tuan Tanah itu sendiri. Karakter membawa pesan perumpamaan. Tuan tanah adalah orang yang sangat percaya kepada orang lain. Hal ini terbukti ketika ia mencari para pekerja untuk menggarap kebun anggurnya, ia tidak melakukan tes ataupun seleksi, sehingga tanpa ia sadari, ia telah memilih para pekerja/penggarap yang jahat yang kemudian hari menghianatinya. Para penggarap sendiri, telah jatuh ke dalam hidup yang serakah. Mereka tahu bahwa kebun anggur yang mereka kelola tersebut adalah bukan milik mereka, tetapi ketika mereka telah melihat hasil dari kebun tersebut, mereka melupakan dan menyalahgunakan kepercayaan tuan tanah yang telah pergi ke luar negeri tersebut. Sikap mereka yang penuh dengan keserakahan dan keinginan untuk memiliki yang besar, telah mendarah daging, sehingga mereka menghalalkan segala cara demi terwujudnya impian mereka untuk memiliki kebun anggur tersebut. Para penggarap tersebut menangkap, membunuh, memukul, dan melempari para hamba yang sangat setia kepada tuannya, bahkan anak dari tuan tanah yang setia pada perintah ayahnya juga mendapat perlakuan yang sama dengan para hamba tersebut. Apalagi ketika mereka tahu bahwa anak tersebut adalah ahli waris kelak, tentu akan sangat menghalangi mereka untuk mendapatkan kebun anggur tersebut. Para hamba dan Anak tuan tanah tersebut adalah orang yang setia pada tuan tanah. Tuan tanah percaya kepada mereka, sehingga ia menyuruh mereka menagih bagiannya kepada para penggarap. Kesetiaan para hamba dan anak tuan tanah tersebut, juga dikarenakan mereka percaya kepada tuan tanah. Untuk apa berani mati menagih jatah tuannya, bila mereka tidak setia pada tuan tanah. Untuk apa mau disuruh-suruh, bila tuan tanah pada akhirnya menipu mereka. Jadi antara kepercayaan dan kesetiaan sangat berhubungan erat. Orang yang bisa dipercaya adalah orang yang setia, tetapi orang yang tidak bisa dipercaya adalah orang tidak setia.
Di dalam Alkitab, banyak berbicara mengenai kaitan antara kepercayaan dengan kesetiaan. Yusuf adalah orang yang dapat dipercaya dan sangat setia,”Sebab itu kepala penjara mempercayakan semua tahanan dalam penjara itu kepada Yusuf, dan segala pekerjaan yang harus dilakukan di situ, dialah yang mengurusnya” (Kejadian 39:22). Dalam pengajaran-Nya, Tuhan Yesus juga sangat menekankan kaitan antara kepercayaan dan kesetiaan ”Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?” (Lukas 16:11). Kaitan yang erat antara kepercayaan dengan kesetiaan hanya dapat dicapai apabila seseorang dapat mengelola ”kebebasan” yang telah diberikan kepadanya. Yusuf adalah orang yang dapat memanfaatkan kebebasan yang telah diberikan kepadanya dengan sebaik-baiknya, sehingga ia menjadi orang penting di kerajaan Mesir, meskipun di belakangnya ada campur tangan Allah. Manusia seringkali menyalahgunakan kebebasan yang telah Allah berikan kepadanya, sehingga kegagalan dan mautlah yang akhirnya didapatkan.

Makna Teologis
Manusia mengalami kegagalan dan maut, hal ini karena manusia seringkali menyalahgunakan ’Kehendak Bebas’ yang telah Allah berikan kepada manusia tersebut. Allah menciptakan dunia dengan begitu sempurna. Dalam dunia yang sempurna itu, Allah juga menciptakan manusia yang sempurna pula, namun demikian Allah mengaruniakan kepada manusia ciptaan-Nya tersebut karunia kemerdekaan, yakni kemerdekaan untuk memilih (Kehendak Bebas). Allah tidak menciptakan manusia seperti robot, yang kaku dan segala tindakannya dibatasi. Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk bertindak.
Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang menyalahgunakan kehendak bebas yang Allah berikan kepada mereka. Hal ini jelas, kerena mereka termakan oleh bujuk rayu iblis untuk menjadi seperti Allah. Manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya dalam keadaan yang serba sempurna. Manusia dikaruniakan akal budi untuk memilih yang benar dan yang jahat. Inilah yang menjadi ujian, pencobaan, bahkan sebuah ujian yang berat. Adam telah menjatuhkan pilihannya, dan harus menanggung akibatnya. Ia telah menjadi ”perintis” jalan untuk setiap manusia yakni lahirnya dosa turunan. ”Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (Roma 5:18).
Manusia harus bisa mengelola kebebasan yang Allah berikan. Bagaimana cara mengelola kebebasan tersebut?. Kuncinya adalah dimana setiap manusia harus benar-benar percaya kepada Allah dan hidup setia kepada-Nya. Kepercayaan melahirkan pengenalan yang benar tentang siapa itu Allah dan kesetiaan menuntun pada pemilihan jalan yang benar yang Allah kehendaki.
Lalu bagaimanakah hubungan pesan perumpamaan di atas (33-39) dengan penjelasannya (40-44)?. Pesan perumpamaan ”Antara Kepercayaan dan Kesetiaan” dihubungkan Tuhan Yesus dengan Kerajaan Allah. Intinya adalah bahwa hanya orang yang dapat dipercaya dan orang yang setia yang akan mendapatkan Kerajaan Allah. Jadi kepercayaan dan kesetiaan berhubungan erat dengan Kerajaan Allah. Allah telah memberikan kebebasan kepada kita untuk memilih apakah kita mau percaya dan setia kepada-Nya atau tidak. Konsekuensinya adalah hanya orang yang mau memilih percaya dan setia kepada Allah yang akan mendapatkan Kerajaan-Nya.

Efek Perumpamaan
Dari pesan dan inti perumpamaan Penggarap-penggarap, kita dapat melihat efeknya kepada audiens-audiensnya. Apa maksud Yesus menyampaikan perumpamaan tersebut kepada para pendengarnya.



1. Pendengar Pertama
Dalam teks perumpamaan di atas, sangat jelas sekali bagaimana efek ketika Yesus menyampaikan perumpamaan tersebut. Narator menjelaskan dengan sangat terperinci bagaiman efek dari pendengar pertama. Dalam ayat 45-46 di situ diceritakan bagaimana reaksi imam-imam kepala dan orang-orang Farisi ketika mereka ”mengerti” apa makna dari perumpamaan Yesus tersebut. Di situ dikatakan bahwa mereka berusaha manangkap Yesus, tetapi mereka takut kepada orang banyak, karena orang banyak menganggap Yesus sebagai Nabi. Jelas bahwa mereka sangat tersinggung dan marah karena Firman Tuhan menegor mereka, menegor kejahatan dan kefasikan mereka. Mereka tidak menyukai perkataan Firman tersebut, karena mereka menganggap diri selalu benar. Mereka telah dibutakan oleh kesombongan dan kebebalan hati mereka.

2. Pembaca Pertama
Apa sebenarnya masalah yang sedang dihadapi oleh jemaat asuhan Matius, sehingga Matius memasukan perumpamaan ini dalam tulisannya?. Besar kemungkinan, bahwa jemaat asuhan Matius yang terdiri dari orang-orang Yahudi, sangat menjunjung tinggi identitas mereka sebagai bangsa pilihan Allah. Mereka merasa lebih istimewa dari bangsa-bangsa lain. Hal ini perkuat lagi dengan pengaruh imam-imam kepala dan orang-orang Farisi yang begitu fanatik. Kepanatikan mereka dikritisi oleh Yesus, bahwa semua bangsa adalah istimewa di hadapan Allah. Jadi Matius inggin menjelaskan kepada jemaat asuhannya agar tidak bersikap ekslusif dan menganggap bahwa hanya mereka yang diistimewakan Allah. Dan besar kemungkinan juga mereka meragukan kuasa dan otoritas diri Yesus. Maka dengan memasukan perumpamaan ini, Matius inggin menjawab pergumulan jemaat asuhannya.

3.Pembaca Kontemporer
Perumpamaan Penggarap-Penggarap Kebun Anggur memberikan pesan yang begitu penting, yakni dampak dari pada kepercayaan dan kesetiaan yang dihubungkan dengan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah adalah untuk semua orang (bangsa), tetapi hanya orang-orang yang memilih untuk tetap percaya dan setia kepada Allah, itulah yang akan mewarisi kerajaan Allah tersebut. Allah memberikan kebebasan kepada kita untuk memilih Kerajaan-Nya atau kerajaan maut. Bagaimana kita mewujudnyatakan kepercayaan dan kesetiaan kita kepada Allah, yakni jikalau kita setia kepada Firman-Nya, mau ditegor oleh Firman-Nya ” Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibrani 4:12).


Rancangan Khotbah

Tema: Kerajaan Allah Untuk Siapa?
1. Untuk Semua Bangsa
2. Untuk Orang Yang Memilih Percaya dan Setia Pada Allah

Penjelasan:
Kerajaan Allah untuk semua bangsa, hal ini bisa dipertentangkan dengan sikap eksklusif bangsa Israel yang menganggap bahwa Kerajaan Allah hanya untuk mereka sendiri. Kerajaan Allah untuk semua orang, tetapi hanya untuk orang yang memilih percaya dan setia pada Allah.


Tema: Bagaimana Mendapatkan Kerajaan Allah?
1. Percaya dan setia kepada Allah
2. Mau Ditegor Oleh Firman Allah

Penjelasan:
Kerajaan Allah didapatkan bukan dengan hasil usaha manusia semata, tetapi oleh anugerah Allah. Anugerah berarti percaya dan setia pada Allah. Orang yang percaya dan setia kepada Allah, sudah sewajarnya mau ditegor oleh Firman-Nya, agar tetap berada di jalan yang benar.

Gawai Dayak Ditinjau Dari Perspektif Teologis

Prosesi penyembelihan babi pada upacara dange (photo: Eko Suryanto Daulay, Rumah Betang, Pontianak, 2009)
Kegiatan ini bertujuan untuk memberitahukan pada semua orang dan makhluk hidup di darat, sungai dan udara, bahwa dange akan segera dimulai. Setelah dua rentetan ritual ini usai, barulah orang-orang mendirikan lepo dange. Kemudian Mawaang Alaan Uting yakni masyarakat Dayak membersihkan jalan roh atau jiwa uting (babi piara) yang dipimpin oleh Dayung aya’, ritual bertujuan memberitahukan pada semua orang, terkhusus pada leluhur Kayaan bahwa uting akan menjadi kurban dan prosesi penyembelihan uting atau babi itu sendiri dilakukan di lepo dange.(eko suryanto daulay/25/05/09)


Edi P. labang

Pendahuluan
Dalam tulisan ini, mencoba memaparkan secara sederhana dan bersikap kritis terhadap perayaan adat (Gawai Dayak), yang telah dirasa menjadi salah satu ”penghambat” pertumbuhan iman Kristiani masyarakat Dayak. Tidak bermaksud meniadakan perayaan adat tersebut, atau terlalu beranggapan negatif, tetapi mencoba mengajak untuk melihat secara nyata apa sebenarnya perayaan tersebut dan bagaimana dampaknya bagi Masyarakat Dayak secara luas.

Latar Belakang
Gawai Dayak merupakan suatu perayaan adat yang terdapat di Kalimatan Barat. Perayaan adat tersebut bisanya dilakukan pada bulan Mei
[1]. Gawai adalah bahasa Dayak yang artinya sama dengan Perayaan, Pesta , keramaian dll, sedangkan; Dayak merupakan nama suku yang ada di Kaliamantan Barat, yakni Suku Dayak[2]. Gawai Dayak disertai dengan perayaan, ritual-ritual khusus yang semuanya memiliki makna atau hikmah tersendiri bagi masyarakat Dayak. Sejak berpuluh-puluh tahun, bahkan sampai saat ini, masyarakat Dayak masih tetap memelihara parayaan tersebut. Gawai Dayak merupakan pesta ucapan syukur tahunan masyarakat Dayak, kepada ”Tuhannya” (Jubata, kepercayaan nenek moyang, atau kepada ilah-ilah lain, seperti Batu, kayu dan tanaman). Masyarakat Dayak mengucap syukur atas hasil panen yang telah diperolehnya selama musim tanam setahun, yang semua itu menurutnya adalah karena campur tangan ”Tuhannya” tersebut.
Perayaan adat tersebut biasanya berlangsung selama 1-7 hari, tergantung situasi daerah yang merayakannya. Dalam acara Gawai tersebut disertai pula dengan makanan dan minuman khas, seperti daging (Babi, Ayam, dll), Nasi Ruas (Beras Ketan yang dimasukkan ke dalam bambu khusus, kemudian dipanggang), Tuak, Arak, dan makanan-makanan ringan lainnya. Sebelum upacara perayaan dimulai, bisanya pagi-pagi benar diadakan ritual-ritual khusus yang dipimpin oleh ketua adat. Dalam ritual tersebut, disediakan sesajen untuk ”Tuhannya” (Jubata, kepercayaan nenek moyang, atau kepada ilah-ilah lain, seperti Batu, kayu dan tanaman). Sesajen tersebut dapat berupa kepala babi, nasi Ruas, tuak dll, yang dipersembahkan. Tujuannya adalah untuk meminta berkat, pertolongan, pengucapan syukur (semua yang dikehendaki), kepada ”Tuhannya” itu. Ritual-ritual tersebut biasanya diadakan di rumah adat Dayak, rumah pribadi, ataupun tempat-tempat khusus lainnya.
Perayaan tersebut pada dasarnya baik dan membangun kebersamaan, bahkan menjadi salah satu ciri khas orang Dayak. Akan tetapi kepada siapa perayaan tersebut ditujukan, bagaimana ritual-ritualnya, apa dampak perayaan tersebut bagi seluruh lapisan masyarakat Dayak (Baik Tua, Muda, Kecil dan Lansia), serta bagaimana pengaruhnya bagi Gereja dan iman Kristen, hal-hal inilah yang menjadi pertanyaan besar dan perlu pemikiran yang kritis.

Mengapa perayaan Gawai Dayak masih tetap dipelihara oleh masyarakat Dayak dari zaman dahulu hingga saat ini?
Faktor Kebudayaan
Gawai Dayak merupakan perayaan adat yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Dayak. Kebudayaan ini tanpa disadari telah masuk ke dalam hidup dan cara keberagamaan masyarakat Dayak. Kebudayaan yang mengangap bahwa sumber berkat dan kelimpahan hanya datang ”di luar” Tuhan Allah. Jubata, kepercayaan nenek moyang, ilah-ilah lain (Batu, kayu dan tanaman dll), telah menjadi begitu penting dan sangat dihormati. Warisan kebudayaan zaman dahulu seakan-akan sulit untuk ditinggalkan. Sejak zaman dahulu, tua-tua suku Dayak memiliki perhatian khusus dalam hal yang berhubungan dengan dunia pertanian. Anggota suku yang selalu mendapat banyak padi dalam berladang dianggap sampbadi (orang beriman, taat dan taqwa). Beriman bisa dalam pengertian kepada Tuhan Allah, juga kepada “Tuhannya”. Namun pengertian iman di sini lebih mengarah dan banyak kepada pengertian “Tuhannya”. Padi, adalah salah satu ciri terpenting dalam kehidupan sosial budaya suku bangsa Dayak. Upacara-upacara ritual sepanjang tahun pada dasarnya didasarkan pada siklus penanaman padi. Pada saat penanaman padi diadakan ritual dengan cara memberikan (dipercik atau dioelskan) darah binatang pada benih padi yang akan ditanam, ada juga yang membuat patung kayu kecil yang menyerupai manusia yang disembah. Pada saat pemeliharaan padi, biasanya sebagaian masyarakat Dayak memasang “penjaga ladang” (bukan manusia, tetapi buatan tangan yang dikeramatkan atau diangap sakti). Pada saat panen, terutama hari pertama akan memasuki masa-masa panen, biasanya diambil beberapa tangkai padi yang kemudian diberi ritual khusus dengan memercikkan darah binatang. Dan beberapa saat setelah panen, diadakanlah pesta Gawai Dayak.

Faktor Keagamaan
Menurut masyarakat Dayak, dunia dan segala isinya diciptakan oleh Yang Maha Tinggi. Untuk mengetahi konsep-konsep ketuhanan itu, menurut Scharer (1963), seseorang harus menelaah sumber-sumber. Sumber yang dimaksud Scharer adalah tradisi lisan. Ia mengambarkannya sebagai sacred literature (sastra suci). Dalam pada itu, tiap-tiap benda dan makhluk di bumi ini memiliki semangat (the living spirit). Dalam beberapa sub-suku, semangat itu disebut Jubata, atau Duata. Oleh karena itu, benda-benda baik yang hidup maupun yang mati tidak boleh diperlakukan tidak senonoh. Jika melakukannya, maka pelakunya akan mendapat balasan yang setimpal.
Peran agama dalam menjembatani Injil dan kebudayaan Dayak, “seakan-akan gagal”, karena (terutama Gereja) tidak bisa berbuat banyak bagi masyarakat Dayak, bahkan ada gereja-gereja tertentu yang “kompromi” dengan gaya pesta tersebut, termasuk pemimpin-peminpin umat ikut mabuk. Tidak salah gereja dekat dengan adat, hal itu harus, tetapi jangan sampai gereja atau para pemimpin gereja kebablasan.
Cara tersebut bukan kontekstualisasi, tetapi sinkritisme
[3]. Jangan heran bila umat tetap memegang erat tradisi minum mabuk, menyembah patung dll, dalam perayaan Gawai, bila gereja dan para pemimpinnya yang mencontohkan dan merestuinya.
Faktor Lingkungan
Pada dasarnya, masyarakat Dayak, bukanlah masyarakat yang suka berpesta-pora secara berlebih-lebihan
[4]. Perayaan keagamaan seperti Natal, Paskah dan Gawai merupakan perayaan-perayaan besar bagi Masyarakat Dayak. Di dalam setiap perayaan tersebut, khususnya Gawai Dayak, faktor lingkungan memiliki pengaruh yang besar bagi setiap masyarakat. Sebagian masyarakat dan orang Dayak “besaing” dalam hal kemeriahan acara, hal ini dengan cara membandingkan kemeriahan dari satu desa ke desa lain, dari satu kampung ke kampung yang lain, bahkan antar rumah satu dengan rumah yang lain dalam satu desa.
Memang selama ini tidak dikatakan bahwa orang yang berkekurangan ataupun yang taat pada agama, dianggap sebagai orang-orang yang tidak beradat ataupun dikucilkan, apabila mereka tidak ikut merayakan Gawai. Tetapi prasangka-prasangka negatif sering muncul dari seseorang masyarakat Dayak sendiri. Ia takut bila dianggap tidak beradat, ia takut bila tidak diberkati oleh “Tuhannya”, ia malu atau gengsi pada kaum kerabat dan orang-orang yang ada di sekitarnya bila ia tidak ikut dalam perayaan. Maka diadakanlah olehnya pesta Gawai tersebut.

Faktor Pendidikan
Sikap “kristis” belum dimiliki oleh sebagian Masyarakat Dayak. Hal ini terbukti masih ada sebagian masyarakat yang belum bisa membedakan antara kepercayaan kepada Tuhan Allah dengan kepercayaan kepada “Tuhannya”. Antara kebudayaan yang membangun dengan kebudayaan yang tidak membangun. Memang tidak sedikit orang Dayak terpelajar yang berpendidikan tinggi, tetapi pertanyaannya; Telah dikemanakankah hasil pendidikan tersebut?, Adakah usaha dari golongan terpelajar untuk bersungguh-sungguh membangun Masyarakat sendiri?. Bersyukur bila hasil pendidikan tersebut digunakan untuk membantu masyarakat, memotivasi mereka, mengajak mereka berpikir kritis terhadap kebudayaan, mencintai pendidikan dan agama dll; tetapi celakanya bila hasil pendidikan tersebut digunakan untuk membodohi sesama sukunya sendiri yang tidak berpendidikan tinggi, digunakan untuk menjadi “caleg” gagal dan “peneladan sejati” dalam hal minum mabuk dan lain sebagainya. Cinta kepada alam dan lingkungan Kalimantan Barat juga telah meninabobokan pendidikan sebagian Masyarakat Dayak.

Tinjauan Kritis
Sekali lagi, Gawai Dayak itu baik, tetapi mari kita melihat dampak positif dan negatif dari perayaan tersebut.
Dampak Positif
Terjalin Pesaudaran Yang Erat
Perayaan Gawai Dayak adalah perayaan yang ditunggu-tunggu oleh hampir seluruh Masyarakat Dayak. Moment ini dirasakan sangat penting, bukan hanya dalam hal perayaannya saja, tetapi dalam hal menjalin persaudaraan yang erat antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu kampung dengan kampung yang lain, antara satu keluarga dengan keluarga yang lain, bahkan antara pribadi satu dengan pribadi lainnya. Suasana persaudaraan antara sesama suku Dayak juga dirasakan sangat kuat. Kebangaan sebagai orang Dayak juga dapat dirasakan pada saat Gawai. Keluarga-keluarga yang berjauhan juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke tempat setiap saudaranya yang merayakan Gawai, dan itu dijadikan sebagi suatu kesempatan bagi kebersamaan keluarga.
Kebiasaan yang paling unik, terutama di sebagian daerah suku Dayak, yakni dengan adanya giliran perayaan. Misalnya daerah yang satu merayakan Gawai pada hari tertentu, daerah yang lain datang berkunjung untuk memeriahkan. Begitu pula bila daerah yang mengunjungi tersebut merayakan Gawai, daerah yang yang telah dikunjungi membalasnya dengan berkunjung pula. Relasi persaudaraan dibangun atas dasar tersebut.

Melestarikan Kebudayaan Dayak
Dalam masyarakat Dayak, tradisi lisan memainkan peranan yang sangat penting khususnya dalam tatanan hidup bermasyarakat. Dengan demikian hal itu menjadi salah satu identitas kolektif bagi masyarakat suku Dayak. Bersamaan dengan itu, King dan Ave menyebut, bahwa tradisi lisan itu sebagai media untuk menyampaikan pandangan mereka tentang kehidupan dan makanan, tentang kematian dan realitas kehidupan setelah kematian. Tradisi ini selalu disampaikan secara turun-temurun oleh tua-tua yang dianggap dan dihormati di dalam masyarakat tersebut.
Gawai Dayak juga termasuk salah satu kebudayaan yang harus tetap dipelihara, karena itulah ciri khas masyarakat Dayak. Hanya jangan sampai Gawai Dayak menjadi sinkretisme. Gawai Dayak tidak harus dengan sejajen kepada “Tuhannya”, minum-mabuk dll, tetapi mengunakan cara lain yang membangun dan menyehatkan jesmani dan juga rohani.

Dampak Negatif
Merusak moral
[5]
Tidak jarang perayaan Gawai Dayak disertai dengan pertengkaran, yang diakibatkan karena mabuk tuak, arak dll. Ada pula yang menjadikan ajang tersebut sebagai tempat aksi balas dendam (dendam lama). Pembunuhan juga sering terjadi, karena diakibatkan rasa cemburu dari pasangan tertentu, akibat suami atau istri sama mabuk tuak dan “selingkuh” yang menimbulkan api cemburu yang kuat dan berakhir dengan saling bacok-membacok. Anak-anak kecil yang masih berusia 5 tahun sudah ikut-ikutan minum tuak, apalagi remaja dan pemuda yang kadangkala lupa diri dan merusak harga diri dengan berbagai hal yang tidak baik. Gawai Dayak secara tidak langsung telah menimbulkan berbagai peluang negatif bagi masyarakat Dayak sendiri. Perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kawin muda karena MBE, pemerkosaan dll, inilah “buah” dari Gawai Dayak. Semua ini muncul karena pesta mabuk-mabukkan miras.
Sinkretisme
Secara sadar atau tidak sadar, sebagian masyarakat Dayak yang masih memegang erat “Gawai Dayak”, terutama yang mengadakan ritual-ritual kepada “Tuhannya”, selama ini telah hidup dalam sinkretisme. Memang tidak dapat disangkal bila hampir di setiap daerah suku Dayak, telah masuk Kekritenan (Baik itu Protestan maupun Katolik), itu berarti bahwa rata-rata masyarakat Dayak mengenal dan menganut kepercayaan kepada Kristus. Tetapi mengapa masih tetap saja ada masyarakat yang belum bisa membedakan antara kepercayaan kepada “Tuhannya” dengan percaya kepada Kristus?. Mereka pergi ke Gereja, tetapi mereka juga aktif dalam ritual-ritualnya. Keterikatan akan kuasa gelap telah mendarah daging dalam diri sebagian masyarakat Dayak, sehingga sinkretisme terus berkembang. Anehnya lagi, sebagian “gereja dan pemimpin rohani” juga ikut-ikutan.

Gawai Dayak Dari Perspektif Teologis
Benarkah Gawai Dayak termasuk ke dalam hal sinkretisme dan penyembahan kepada berhala, sehingga menjadi penghambat pertumbuhan iman umat Kristen Dayak serta menjadi pemicu terjadinya imoralitas?
Bila kita melihat tujuan dari perayaan tersebut, secara khusus bagi Masyarakat Dayak yang masih memegang erat trasdisi tersebut, sebenarnya perayaan tersebut dapat dikatakan sebagai Sinkretisme dan penyembahan kepada berhala
[6]. Mengapa?, Tujuan Gawai tersebuat adalah untuk meminta berkat, petuah, pertolongan, keselamatan, mengucap syukur dan lain sebagainya kepada “Tuhannya” yakni Jubata, Roh Nenek-moyang, Batu, Kayu, gunung dan tempat-tempat yang dianggap keramat lainnya. Dari ritua-ritualnya, kita dapat melihat dengan adanya pemberian sesajen berupa kepala babi, nasi ketan (ruas), tuak, darah binatang dan makanan/minuman khusus lainnya. Imoralitas dari “buah” Gawai Dayak yang secara tidak sadar telah menghancurkan sebagian pribadi, keluarga dan masyarakat suku Dayak.
Firman Tuhan “Jangan ada padamu Allah lain di hadapan Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi, di bawah, atau yang ada di dalam air, di bawah bumi. Jangan sujud menyembah atau beribadah kepadanya” (Keluran 20:3-5). Firman Tuhan yang diberikan kepada Bangsa Israel, dimana orang Israel harus tetap loyal kepada Tuhan. Mereka harus beribadah kepada Tuhan saja dan dilarang beribadah kepada allah lain. Mereka harus bebas dari kekuatan allah-allah lain. Menurut kepercayaan para politheis atau bangsa-bangsa kafir sekitar Israel, ada beberapa allah yang kehendaknya bertentangan dan mereka harus berusaha melayaninya dengan cara yang menyenangkan hati mereka semua. Mereka harus tetap takut akan kemuarkaan setiap allah. Barangkali ada allah yang sangat berkuasa yang belum mereka perhatikan dan allah itu akan membinasakan mereka. Firman kedua yaitu ”jangan membuat bagimu patung” terdapat dalam ayat keempat. Firman itu melarang orang Israel beribadah kepada Tuhan dengan cara yang tidak sesuai dengan sifat-Nya. Karena pada zaman kuno patung dianggap sebagai tempat berdiamnya allah yang diwakilinya. Itu berarti bahwa allah itu bersifat statis dan terbatas, bahkan bisa dikontrol oleh yang beribadah kepadanya. Namun, Tuhan Allah Israel bersifat dinamis, bebas, dan tidak terbatas. Dialah yang memerintah dan tidak dapat dikontrol. Patung-patung cenderung menarik manusia sehingga dia beribadah kepada Tuhan seakan-akan sifat-Nya sama dengan sifat allah-allah kafir. Tanpa patung, manusia lebih terbuka terhadap Tuhan dan mengenal sifatnya-Nya yang sesungguhnya
[7].
Penyembahan kepada berhala dan Sinketisme dengan tradisi adalah yang paling umum terjadi bahkan semasa Yesus hidup pun, dan konsekuwensinya di samping ajaran yang campur aduk, sering terjadi bahwa adat-istiadat tradisi lebih diutamakan dari Injil Allah.
Sinkretisme dengan berhala-berhala Romawi dikritik oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Rom. 1:18-32), bahkan dalam jemaat Korintus, Paulus menghadapi sinkretisme dengan Rasionalisme (1 Kor. 18:2-5) tetapi tidak lepas adanya sinkretisme tradisi penyembahan berhala (1 Kor. 8). Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus mengigatkan bahaya sinkretisme dengan adat-adat Yahudi dan Tauratisme (Gal. 2-3)
[8]. Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Rasul Pulus mengatakan: “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kol. 2:6-8).

Kesimpulan Teologis
Perayaan adat suku Dayak ini, memang menimbulkan kontroversi bagi golongan beragama (Khususnya Jemaat Kristen yang sungguh-sungguh di dalam Kristus), dengan masyarakat awam, termasuk jemaat bergereja yang masih kuat tadisi nenek moyang tersebut. Permasalahan itu muncul karena golongan beragama berusaha menghilangkan Gawai Dayak tersebut, karena dianggap penyembahan kepada berhala, sedangkan golongan masyarakat adat, berusaha untuk tetap mempertahankan Gawai Dayak tersebut, karena dianggap sebagai perayaan “wajib” yang memang sudah tradisi turun-temurun karena dianggap telah menjadi sumber berkat, pertolongan dan keselamatan bagi mereka. Permasalahan ini muncul hampir di setiap suku bangsa Dayak.
Kita dapat mengambil kesimpulan teologis dari permasalahan ini sebagai berikut:
Pertama, Gawai Dayak memiliki dampak positif dan negatif. Positif karena melaluinya kebersamaan dan kebudayaan masyarakat Dayak tetap terpelihara; negatif karena melalui Gawai tersebut imoralitas terjadi, penyembahan kepada berhala dan sinkretisme terus berkembang, masyarakat buta terhadap kebenaran dan Injil.
Kedua, Gereja dan para pemimpin gereja harus berperan aktif dalam memberikan penjelasan yang benar tantang makna dari pada Gawai Tersebut. Jangan sampai berita keselamatan dari Kristus dikalahkan oleh tradisi atau adat yang tidak benar dalam kacamata iman Kristen
Ketiga, Golongan terpelajar suku bangsa Dayak, harus peduli kepada masyarakatnya (di samping kepada suku-suku lain). Mendorong masyarakat Dayak untuk maju dalam pendidikan dan harus bergandengan tangan dengan gereja untuk memeberikan konsep teologis yang benar terhadap pesta Gawai Dayak tersebut.
Keempat, Gawai Dayak dapat dilakukan dengan ibadah di Rumah adat, rumah pribadi dan tempat-tempat lainya, mengucap syukur kepada Tuhan Allah di Surga, tanpa disertai dengan ritual-ritual adat yang penuh dengan kuasa gelap, karena Tuhan Allah kita bersifat dinamis, bebas, dan tidak terbatas. Dialah yang memerintah dan tidak dapat dikontrol. Patung-patung cenderung menarik manusia sehingga dia beribadah kepada Tuhan seakan-akan sifat-Nya sama dengan sifat allah-allah kafir. Tanpa patung dalam ritual-ritual adat, manusia lebih terbuka terhadap Tuhan dan mengenal sifatnya-Nya yang sesungguhnya.
Kelima, Orang Dayak harus menjadi seorang Kristen sejati dan orang Dayak sejati, sehingga nama Tuhan dipermuliakan dalam kehidupan suku bangsa Dayak.

[1] Tidak serempak, karena di daerah-daerah tertentu sudah ditetapkan oleh masyarakat setempat, sesuai dengan waktu yang dirasakan tepat atau bisanya sehabis panen ataupun awal ketika akan memasuki pembukaan lahan pertanian baru
[2] Kata Dayak merupakan “Pemersatu”. Jan Ave dan Viktor King melukiskan Dayak sebagai The people of the Weaving forest (orang dari hutan yang meratap). Ada pula yang menggambarkan mereka sebagai The headhunters of Borneo (Pemburu kepala dari Borneo). Adapula yang mengatakan bahwa kata “Dayak” digunakan karena orang Dayak tidak memiliki identitas seperti suku-suku lainnya.

[3] Sinkretisme disebut dalam kamus sebagai ”penyatuan aliran” sedangkan istilah ini dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut “mencampuradukkan agama-agama”. Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa “Syncretistic”, berarti “tending to reconcile different beliefs, as philosophy and religion”. Jadi sinkretisme dalam agama adalah usaha penyatuan dan pencampuradukkan berbagai faham-faham agama dengan kecenderungan untuk mendamaikan faham-faham itu.
[4] Hal ini dilihat secara umum dari Masyarakat Dayak.
[5] Hal ini dilihat dari kenyataan di daerah saya sendiri, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi di daerah suku bangsa Dayak lainnya.
[6] Di dalam bahasa Ibrani, adalah pasel, umumnya mengacu kepada patung pahatan berupa orang, binatang, atau bentuk-bentuk lainya, juga ”patung tuangan” yang dibuat dari tanah, batu atau logam.
[7] Dr. Robert M. Paterson, Kitab Keluaran, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006, hal. 266
[8] Herlianto, Injil dan Sinkretisme (Jurnal Pelita Zaman Vol. 11, no. 2) , Bandung, hal. 98-99

Senin, 18 Mei 2009

YESAYA 52:1-12 DISELAMATKAN UNTUK MENYELAMATKAN

Edi P. Labang

Yesaya 52:1-12 adalah termasuk dalam pembagian yang kedua dari kitab Yesaya, yaitu Deutero-Yesaya. Deutero-Yesaya hidup pada masa pembuangan di Babylon, kira-kira tahun 540 seb. Kr. Masa pembuangan di Babylon (tahun 597-538 seb. Kr.) adalah periode yang penting sekali bagi Yehuda, baik di bidang kemasyarakatan maupun keagamaan. Kira-kira 20 persen dari penduduk Yehuda diangkut tertawan ke Babylon. Pada masa itu muncul nubuat nabi Deutero-Yesaya, yang terdapat dalam fasal 40-55 kitab Yesaya[1]. Nabi tersebut tidak diketahui namanya, sehingga secara tehnis disebut saja dengan sebutan Nabi Deutero-Yesaya, yang artinya kurang lebih: Nabi Yesaya kedua.
Deutero Yesaya menubuatkan bahwa masa pembuangan telah berakhir dan Tuhan akan menciptakan permulaan yang baru dalam sejarah Israel. Permulaan baru yang dimaksudkan oleh Deutero Yesaya ialah kembalinya umat Allah dari Babel. Deutero Yesaya menggambarkan peristiwa penyelamatan itu sebagai keluaran baru (band. 51: 9-10; 52: 11-12)[2].

Konteks Teks (Yes. 52:1-12)
Dalam masa pembuangan di Babylon itu Deutero-Yesaya dipanggil untuk menghibur bangsa Israel dan untuk memberitakan bahwa Yahwe akan menyelamatkan umat-Nya. Allah adalah yang Maha Kuasa, khalik langit dan bumi, dan Allah seluruh bumi. Bagi Deutero-Yesaya, Allah adalah satu-satunya Allah dan Pencipta langit dan bumi. Kedua konsepsi ini mau menekankan bahwa Yahwe memanglah Allah yang berkuasa untuk melepaskan bangsanya dari pembuangan itu. Di dalam menyampaikan beritanya, Nabi Deotero-Yesaya banyak memakai bahasa gambaran. Gambaran yang dipakai untuk menceritakan harapan nabi tentang bebasnya orang Israel dari kuasa Babel, di mana pembebasan yang diharapkan itu diceritakan dengan bahasa gambaran yang sama dengan cerita keluaran (exodus) dari Mesir (ayat 3-4). Lihat Yes. 41:17-20; 43:19-20; 49:10-11. Itulah sebabnya pembebasan dari kuasa Babel yang dinubuatkan oleh Deotero Yesaya itu disebut exodus kedua. Dengan bahasa gambaran itu Nabi Deotero-Yesaya hendak menyampaikan berita kepada umat Israel yang tertawan, bahwa Tuhan tetap berkarya meskipun bangsa Israel ada di pembuangan. Tuhan sajalah yang dapat dan harus dipercaya. Israel tidak boleh percaya kepada para dewa Babel. Sebagimana dahulu Tuhan telah menolong Israel, demikian juga pada zaman pembuangan itu Tuhan akan menolong Israel[3].

Diterjemahkan:
52:1 Bangunlah, bangunlah! (LAI=Terjagalah), Kenakanlah kekuatan (LAI=Kekuatanmu) seperti pakaian, hai Sion! Kenakanlah pakaian kehormatanmu, hai Yerusalem, kota yang kudus! Sebab tidak seorang pun yang tak bersunat atau yang najis akan masuk lagi ke dalammu.
52:2a Kebaskanlah debu dari padamu, bangunlah, hai Yerusalem yang tertawan! Tanggalkanlah ikatan-ikatan dari lehermu, hai puteri Sion yang tertawan!
Tafsiran (1-2): Bait ini rasanya tidak lengkap; isi ayat 2 secara logis baik dibaca sesudah pembukaan ayat 1, dan isi ayat 2 itu erat hubungannya dengan ayat 11-12. Karena Yerusalem dibebaskan dari hukuman, ia dapat berjaga, bangun (bnd. 51:17), ia dapat mengebaskan debu yang mengotorinya selagi harus tunduk (51:23) dan bekerja rodi, ia dapat menaggalkan ikatan lehernya kepada leher orang lain dengan tali yang tebal (sebagaimana kelihatan di ukiran di Babel). Orang yang diberi kemerdekaan oleh TUHAN dapat mengenakan pakaian orang kuat, orang terhormat, harus kelihatan bahwa Yerusalem tidak merupakan budak bagi Babel. Di dalam pakaian kehormatan, Sion memperlihatkan dirinya sebagai kota yang kudus, kota pilihan TUHAN yang disucikan bagi-Nya. Akibatnya ialah bahwa orang-orang yang tak bersunat, orang-orang Babel (bnd. 49:17), tetapi juga musuh-musuh lain, seperti orang Asyur dan Filistin yang juga tak bersunat, tidak akan masuk lagi untuk merusakannya. Demikian pun orang-orang najis, mereka yang tidak menyucikan diri bagi TUHAN (ayat 11), mereka yang tidak mau mengerti kehendak-Nya (orang-orang pandir dari 35:8), orang-orang berdosa (bnd. 6:4 najis bibir), tidak dapat memasuki kota di mana TUHAN tinggal (ayat 8) sebagai Raja (ayat 7).

52:3 Sebab beginilah firman TUHAN: Kamu dijual tanpa pembayaran, maka kamu akan ditebus tanpa pembayaran juga.
52:4 Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH: Dahulu umat-Ku berangkat ke Mesir untuk tinggal di situ sebagai orang asing, lalu Asyur memeras dia tanpa alasan.
52:5 Tetapi sekarang, apakah lagi urusan-Ku di sini? demikianlah firman TUHAN. Umat-Ku sudah dirampas begitu saja. Mereka yang berkuasa atas dia memegahkan diri, demikianlah firman TUHAN, dan nama-Ku terus dihujat sepanjang hari.


LAI Menerjemahkan: sebab itu umat-Ku akan mengenal nama-Ku dan pada waktu itu mereka akan mengerti bahwa Akulah Dia yang berbicara, ya Aku!
Lebih tepat menerjemahkan: UmatKu akan mengenal namaKu dan pada waktu itu mereka akan mengerti bahwa Aku yang berkata: ini Aku!.
Tafsiran (3-6): Lukisan Yerusalem sebagai budak tawanan yang dibebaskan TUHAN adalah berdekatan dengan gambaran bahwa Israel terjual pada suatu waktu, meskipun tanpa bayaran (bnd. Maz. 44:16 tanpa untung; Yes. 50:16 bukan karena utang, 50:1 penjualan sebenarnya tidak sah, bukan untuk selamanya), lalu ditebus juga tanpa bayaran (bnd. 45:13). Bayangan ini mungkin berasal dari Yesaya II; istilah tanpa bayaran/alasan diaktuilkan kemudian dengan renungan yang berikut: keadaan yang berlaku – di Babel dan sewaktu direnungkan berulang-ulang sama saja seperti keadaan umat Israel di Mesir dan sewaktu pemerintahan Asyur: Israel yang semestinya diperlakukan menurut hak yang lazim bagi penumpangan asing yang datang menetap atas kemauan sendiri dijadikan budak tanpa alasan; Asyur juga sebenarnya tidak mempunyai alasan untuk memeras/menindas Israel (lepas dari kesaksian para nabi: Asyur menjalankan hukuman yang diputuskan TUHAN, bnd. Yes. 10:6-11). Demikian pula sekarang di Babel dan pada saat renungan ini dikemukakan – umat TUHAN dirampas, sehingga TUHAN bertanya: (secara harafiah)” Sekarang ada apa bagiKu di sini?” Yang dimegah-megahkan ialah nama orang-orang yang berkuasa, yang dinista terus-menerus ialah nama TUHAN. Alhasil renungan sejarah ini ialah: sebab pada waktu itu- harafiah pada hari itu dengan istilah khas dari nubuat-nubuat tentang hari kiamat yang tidak pernah dipakai Yesaya II untuk hari pelepasan – umat akan mengenal nama, yaitu kepribadian, TUHAN, atau dengan kata lain, mengerti bahwa Akulah Dia yang berbicara: ini Aku.
Rumusan pemerkenalan diri ini semestinya membuka suatu janji ilahi dan kiranya diartikan di sini: Inilah Aku yang menebus kamu. Penyelamatan Israel sepanjang sejarah dan pengenapannya pada hari kiamat manjadi hiburan bagi umat yang masih tertindas.


LAI Menerjemahkan: Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!"
Lebih baik diterjemahkan: Betapa permai di atas gunung, kaki/langkah orang yang membawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!"
52:8 Dengarlah suara orang-orang yang mengawal engkau: mereka bersama-sama bersorak-sorai. Sebab dengan mata kepala sendiri mereka melihat bagaimana TUHAN kembali ke Sion.
52:9 Bergembiralah, bersorak-sorailah bersama-sama, hai reruntuhan Yerusalem! Sebab TUHAN telah menghibur umat-Nya, telah menebus Yerusalem.
52:10 TUHAN telah menunjukkan tangan-Nya yang kudus di depan mata semua bangsa; maka segala ujung bumi melihat keselamatan yang dari Allah kita.
Tafsiran (7-10): Dengan bait ini kita sampai pada inti gubahan 51:9-52:12; pokok mukadimah – khusus 40:1-5 dan 10-12 – dibawakan dari sudut yang baru: yang tadinya dilihat dari seorang buangan, kini dilukiskan dari pihak Yerusalem sendiri.
Kerajaan Allah akan dinyatakan di Sion, inilah Injil yang diberitakan di sini (bnd. 40:9 “Lihat, itu Allahmu! Lihat, itu TUHAN Allah, Ia datang”). Perhatian beralih dari pembawa kabar yang sedang berlari kepada orang-oranng yang berdiri di perbatasan kota (semestinya di tembok-tembok sudah runtuh) untuk berjaga: ,mereka bersorak-sorai kerena apa yang diberitahukan oleh pemberita itu dilihatnya dengan mata kepala sendiri (harafiah: dari mata ke mata, seperti dari muka ke muka – Bil 14:14): TUHAN kembali ke Sion. TUHAN berbalik (ibr. Syub) seperti dulu kala; Ia kembali kepada puluhan ribu orang Israel (Bil. 10:36, firman tabut yang ditempatkan di dalam cerita keluaran pertama) untuk menyelamatkan mereka (bnd juga Zak. 8:3; Ul. 30:2-3, 8-10). Reruntuhan Yerusalem (ayat 9), batu-batu, tembok-tembok, sisa-sisa kota yang tadinya indah, yang menyambut kedatangan TUHAN dan menyaksikan: TUHAN telah menghibur umat-Nya (bnd. 40:1; 49:13; 51:3,19), telah menebus Yerusalem (baik kota, maupun umat yang berpusat dalam kota ini). Semua ini bukan suatu peristiwa yang kena-mengena dengan hubungan antara TUHAN dan Israel saja, sebaliknya Israel berdiri di sini sebagai pelopor manusia seluruhnya yang hendak menerima keselamatan yang dari Allah kita. Penyelamatan Israel hendak menjadi jalan keselamatan bagi semua bangsa, sebagaimana juga berkat Abraham hendak mengalir kepada segala bangsa di muka bumi (Kej. 12:3).

52:11 Menjauhlah, menjauhlah! Keluarlah dari sana! Janganlah engkau kena kepada yang najis! Keluarlah dari tengah-tengahnya, sucikanlah dirimu, hai orang-orang yang mengangkat perkakas rumah TUHAN!
52:12 Sungguh, kamu tidak akan buru-buru keluar dan tidak akan lari-lari berjalan, sebab TUHAN akan berjalan di depanmu, dan Allah Israel akan menjadi penutup barisanmu.
Tafsiran (11-12): Kepada kaum buangan diberi perintah yang padat-singkat yang terus-menerus menimbulkan ingatan kepada keluaran dari Mesir. Seperti dahulukala Israel mau keluar untuk beribadah kepada TUHAN (Kel. 3:12, 18; 5:1) mereka kini mau menyiapkan diri untuk suatu kebaktian baru. Perintah pokok diulang: menjauhlah, keluarlah (bnd. 40:1; 51:9, 17; 52:1). Dengan keberangkatan itu mulailah ibadah: orang-orang berjalan sambil mengankat perkakas rumah TUHAN. Untuk turut dalam kebaktian ini, orang-orang tidak boleh kena kepada yang najis (bnd. ayat 1 di atas) dan harus menyucikan diri – mereka harus memisahkan diri dari unsur-unsur agama dan budaya kafir yang mempengaruhi mereka untuk menjadi umat TUHAN secara lahiriah dan batiniah. TUHAN akan memimpin dan menyertai mereka menuju kota damai sejahtera. Berbakti dan bersyukur kepada Raja dan Penyelamat itulah tujuan syair ini: orang-orang yang pulang berjalan di tengah alam yang bersukaria dan menjadi pelopor seantero manusia.

Kesimpulan Teologis
1. Untuk Umat Saat itu
Yesaya 52:1-12 memberitahukan, bagimana Tuhan mendirikan kerajaan-Nya di Yerusalem dengan melepaskan umat-Nya yang terbuang: dalam peristiwa itu keselamatan yang dari Allah kita sampai ke ujung bumi. Bagi Deutero-Yesaya, Allah adalah satu-satunya Allah dan pencipta langit dan bumi. Kedua konsepsi ini mau menekankan bahwa Yahwe memanglah Allah yang berkuasa untuk melepaskan bangsanya dari pembuangan itu. Deutero-Yesaya Mengenal Yahwe sebagai Sang Kudus Israel, walaupun dia bersifat universalistis. Allah mau menyelamatkan bangsa-Nya dari pembungan di Babylon, tetapi juga Dia mau memakai bangsa itu sebagai terang bagi bansa-bangsa lain. Dengan kata lain keselamatan dari Allah itu bukan hanya untuk bangsa Israel saja, tetapi untuk semua bangsa di seluruh dunia.

2. Untuk Umat Masa Kini
Dari Yesaya 52:1-12, kita dapat mengambil makna teologis bagi kita saat ini, yakni:
Kita dingatkan bahwa Allah adalah satu-satunya Allah dan pencipta langit dan bumi. Pernyataan ini perlu kita ingat, karena pengenalan kita akan Allah akan menentukan bagaimana kita hidup di dunia ini.
Allah adalah Allah yang peduli akan setiap penderitaan umat-Nya. Ia berkuasa untuk melepaskan umat-Nya dari segala penderitaan yang mungkin hampir saja membuat umat-Nya hilang pengharapan bahkan mungkin sampai “memepertanyakan akan keberadaan Tuhan” di tengah-tengah penderitaan tersebut, atau bahkan berbalik kepada allah-allah lain.
Keselamatan yang telah Allah anugerahkan kepada kita, bukan untuk kita nikmati sendiri saja, tetapi Tuhan mau agar kita membagikan berita keselamatan itu kepada semua orang. Sehingga hidup kita menjadi terang dan berkat bagi orang lain.
Dari pribadi Nabi Deutero-Yesaya, kita dapat belajar bahwa sebagai hamba-hamba Tuhan, kita harus dapat memberikan pengharapan bagi jemaat atau orang lain (non Kristen) yang dalam masa-masa kritis dalam hidupnya.


Kesimpulan
Deotero-Yesaya sangat menitik-beratkan ketinggian dan kebesaran Allahnya: Yahwe tidak memerintah atas seluruh semesta alam saja, tetapi juga atas seluruh bangsa. Nabi ini ingin menghibur bangsa Israel yang telah berada dalam pembuangan dan dia memberitakan bahwa jaman keselamatan sedang datang. Maka dari pada itu, kebesaran Allah yang telah diperlihatkan tersebut serta karya keselamatan yang telah diberikan-Nya, hendaknya menjadi suatu penghiburan bagi kita yang masih hidup di dunia ini, serta terus bersaksi tentang karya keselamatan Allah tersebut kepada semua orang dengan kita menjadi terang dan berkat bagi orang lain.


[1] . Dr. J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001, hal. 112-115.
[2] . Barnabas Ludji, Diktat Kuliah HPL 3, STT Cipanas 2009.
[3]. Prof. S. Wismoady Wahono Ph.D, DI SINI KUTEMUKAN, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta2004, Hal. 253-255.