Sabtu, 26 September 2009

GEREJA DAN DISIPLIN GEREJA


Edi P. Labang

Gereja sering dipahami sebagai tempat berkumpulnya orang-orang kudus, orang-orang yang sudah tidak berdosa lagi, orang-orang yang bebas dari segala permasalahan dan orang-orang beriman atau saleh. Dengan pemahaman seperti ini, maka tidak salah bila ada orang yang berkesimpulan bahwa gereja adalah kumpulan ”para malaikat”, bukan untuk orang yang berdosa. Pemahaman seperti ini menurut saya agak keliru, sebab telah menghilangkan esensi dari gereja yang sebenarnya.

Kata ”gereja” berasal dari bahasa Portugis ”Igreja”, dalam bahasa Yunani disebut Ekklesia, yang berarti persekutuan orang-orang percaya yang terpanggil keluar dari kehidupan yang gelap masuk ke dalam terang Tuhan yang ajaib dalam suatu persekutuan, yakni Gereja Tuhan ( 1 Petrus 2:9). Di dalam perkumpulan ini juga terdapat orang-orang yang belum sungguh-sungguh bertobat atau masih belum percaya kepada Yesus secara sungguh-sungguh, namun sudah tergabung dalam denominasi tersebut (Mat. 13:47-48; 1 Kor. 15:2; Why. 2:2, 9, 14, 15, 16,; 3:9).
Kadangkala sebagian gereja mengabaikan pemahaman bahwa di dalam gereja hadir orang-orang yang belum sungguh-sungguh bertobat, orang-orang yang memerlukan waktu yang cukup lama dalam menggumuli imannya, sebelum ia dapat memutuskan menjadi orang Kristen sejati atau kembali kepada kehidupan lamanya serta orang-orang yang memerlukan proses yang cukup panjang dalam menumbuh kembangkan imannya. Kalau gereja tersebut menyadari akan hal ini, tentu gereja tidak akan ”lebih kejam atau lebih sadis” dalam menerapkan disiplin gereja (hal inilah yang sangat nampak), tetapi sebaliknya gereja akan menjadi tempat orang berteduh dikala badai hidup menghadang, tempat orang mengadu dikala segala permasalahan datang silih berganti, tempat orang menemukan damai dikala damai sudah tidak bisa ditemui lagi di dunia ini dan sebagainya. Sebab bukankah gereja merupakan saksi Kristus yang nampak dan hidup, yang tidak hanya sekedar hadir, tetapi membawa misi keselamatan dan damai sejahtera dari Allah?, kecuali bila gereja tersebut telah berubah fungsi sebagai tempat bisnis, tempat berdagang, tempat reuni anggota keluarga atau kelompok tertentu, tempat mencari nafkah dan sebagainya.

Kemajuan jaman yang seakan-akan sudah tidak terbendung lagi, baik di bidang ilmu dan pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya, susahnya mencari pekerjaan, sifat egoisme antar pribadi maupun kelompok, di mana orang hanya mementingkan dirinya atau kelompoknya saja, tanpa adanya rasa peduli akan sesama, sudah seharusnya menjadi bahan pemikiran gereja dalam membuat atau menerapkan kembali disipilin gereja yang sudah baku dan terlalu radikal.

Disiplin gereja menurut saya juga penting, tetapi jangan sampai disiplin gereja yang dibuat dan diberlakukan, lebih kejam, lebih sadis dan tidak manusiawi. Mendisiplinkan orang dalam disipilin gereja, bukan untuk mengeluarkan orang dari keanggotaan gereja, meminta denda atau korban tebusan, bukan untuk membuat orang tidak pergi ke gereja dalam jangka waktu tertentu, bahkan sampai-sampai malu untuk mengakui akan kelemahan orang lain, demi nama baik gerejanya. Sikap-sikap seperti inilah yang harus dihindari. Gereja bukan tempat mengasingkan orang atau tempat mengadili orang, tempat mempermalukan orang, tempat memeras orang lain yang memiliki kelemahan, yang dalam proses pendewasaan iman, dan yang sedang menggumuli imannya.

Gereja harus berpikir kritis dalam hal ini, jangan sampai gereja lebih kejam dan ”menyesatkan” diri dalam pengajaran teologia seseorang yang kita anut sampai turun-temurun, sehingga gereja lupa melihat kebenaran-kebenaran lain yang terabaikan.
Yesus Kristus Sang Kepala Gereja tidak pernah membuang dan merajam orang-orang berdosa, seperti perempuan yang tertangkap berzinah (Yoh. 8), perempuan yang meminyaki kaki-Nya dan sebagainya, Ia sangat manusiawi meskipun Ia Allah, mengapa?, sebab Ia datang bukan untuk orang-orang yang menganggap diri benar, saleh, kudus, sudah jadi malaikat kecil, tetapi untuk orang yang berdosa, yang memerlukan-Nya sebagai Sang Jurus’lamat, yang mengerti kelemahan dan kekurangan setiap orang berdosa.

Menyadari bahwa di dalam gereja ada orang-orang yang belum sungguh-sungguh bertobat atau masih belum percaya kepada Yesus secara sungguh-sungguh, namun sudah tergabung dalam denominasi tersebut, akan membuat gereja lebih berpikir manusiawi dan menghayati esensi akan kehadirannya di dunia ini. Dengan demikian, gereja tidak hanya menjadi tempat belajar - mengajar hal-hal yang bersifat telogis saja, tempat orang-orang dipermalukan di depan jemaat karena harus mengakui dosanya, tetapi juga belajar untuk menempatkan diri di dalam posisi sebagai orang-orang yang berdosa yang sama-sama memerlukan Sang Penebus dosa, sehingga di dalamnya orang saling menguatkan, saling membina, saling memahami kelemahan satu dengan yang lain, saling menasehati dan sebagainya, seperti yang Kepala Gereja, kehendaki.

Jumat, 18 September 2009

Pengalaman Bersama Tuhan, Pietis?


Edi P. Labang

Banyak orang yang sangat alergi bila berbicara tentang pengalaman hidup bersama Tuhan. Menurut mereka, apabila orang terlalu menekankan pengalaman hidup bersama Tuhan, apalagi pengalaman yang spetakuler itu adalah pietis atau terlalu kahrismatik dan imannya masih kecil. Akan tetapi apakah memang benar demikian?
Dari manakah datangnya pemikiran yang seperti itu, apakah dari orang yang belum mengerti apa itu pengalaman hidup bersama Tuhan, atau orang yang terlalu anti pietis dan anti aliran kharismatik. Atau kemungkinan juga orang-orang tersebut belum pernah mengalami atau belum bisa menyadari akan hidup bersama Tuhan.
Bila kita teliti lebih jauh, sebenarnya gereja dan banyak orang Kristen tetap bertahan sampai hari ini, salah satunya adalah karena mengalami hidup bersama Tuhan di dalamnya, karena itu gereja terus menyaksikan cinta kasih Kristus.
Tuhan tidak abstrak, tetapi dapat dirasakan, sebab bukankan kita sebagai orang-orang Kristen mengimani bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup?, nah, Allah yang hidup itulah Allah yang dapat dialami dan dapat dirasakan oleh orang-orang yang percaya bahwa Ia hidup. Apabila kita mengatakan bahwa Allah kita hidup, tetapi kita tidak pernah atau merasa gengsi mengakui dan mengalami hidup bersama-Nya, berarti sama saja kita tidak mengakui akan keberadaan-Nya.
Pengalaman setiap orang yang hidup bersama Tuhan, memang tidak dapat diukur atau dinilai oleh siapa pun juga, tetapi hanya oleh orang yang mengalaminya tersebut. Entah itu bersifat spektakuler atau tidak begitu spetakkuler itu adalah cara Tuhan menyatakan dirinya kepada setiap orang atau gereja-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya.
Ada beberapa hal yang perlu kita ingat, bahwa betapa pentingnya mengalami Tuhan dalam hidup ini:

Pegalaman Berasama Tuhan membuat kita tetap percaya
Semakin hari semakin banyak kemajuan yang ada di dunia ini, salah satunya adalah kemajuan dalam hal yang bersifat teologis. Banyak penafsiran-penafsiran yang ”mengoncangkan” iman dan seakan-akan bisa meruntuhkan iman dengan sangat dahsyatnya. Berkembangnya ilmu teologi membuat setiap orang Kristen harus semakin menagalami dan membuktikan imannya kepada Kristus. Membuktikannya tidaklah dengan membunuh, mengutuk atau membenci orang yang berbeda penafsiran dengan teologi kita, meskipun ada sekelompok orang yang begitu radikal, alternatif mereka adalah serang-menyerang, debat-mendebat, hakim-menghakimi, baik melalui tulisan-tulisan mereka atau pun melalui cara-cara yang radikal lainnya. Bila penafsiran teologi berbeda, itu adalah hal yang biasa, karena ilmu teologi itu terus berkembang dari waktu ke waktu. Perbedaan ini muncul karena setiap orang yang belajar teologi ”dengan otaknya dan imannya” melihat dari berbagai-bagai segi.
Lalu apakah hubungan perkembang ilmu teologi dengan pengalaman hidup bersama Tuhan? Pengalaman hidup bersama Tuhanlah yang menjadikan kita tetap dan memang harus berpegang bahwa Tuhan kita adalah Allah yang hidup, hadir dan menyertai kehidupan orang yang percaya kepada-Nya. Ditambah lagi dengan pengalaman hidup orang-orang kudus lainnya bersama Tuhan, yang kita lihat setiap hari, itulah yang juga menguatkan kita. Lalu apakah kalau kita tidak megalami Tuhan, Dia tidak pernah menyatakan Diri-Nya, bahwa Ia hidup?, tidak!, sebab sebelum kita ada pun, Allah telah menyatakan diri-Nya melalui alam semesta ciptaan-Nya, melalui Alkitab yang kita pelajari dan melalui sejarah hidup bangsa Israel
terlebih lagi melalui Yesus Kristus Anak Allah, Tuhan kita (penyataan umum dan penyataan khusus). Hanya kadangkala, penyataan-penyataan seperti inilah yang digoncangkan oleh oknum-oknum tertentu, sehingga menimbulkan tanda tanya besar dalam iman kita. Di sini kita dipertentangkan tetap di dalam Kristus atau menyangkal iman kita. Mengalami Tuhan adalah kunci yang jitu ketika doktrin dan tradisi kita digoncangkan oleh ”teologi modern” itu.
Pengalaman bersama Tuhan tidak dicari atau diusahakan, tetapi seiring kita tetap mengimani dan memiliki hubungan intim dengan-Nya, berserah penuh pada kehendak-Nya, dengan sendirinya kita akan menikmati pengalaman itu bersama Tuhan.

Pengalaman bersama Tuhan adalah ciri kehidupan orang beriman
Pengalaman hidup bersama Tuhan merupakan suatu tanda iman orang-orang yang percaya. Tuhan tidak hanya diimani, tetapi Ia dapat dilami. Jadi, orang yang mengalami Tuhan dalam hidupnya adalah orang yang mengimani bahwa Allah adalah Allah yang tidak jauh, Ia dekat dengan orang-orang yang Ia kasihi. Kita bisa mebayangkan, seandainya Allah hanya sampai di imani saja, tentu akan ada banyak orang-orang yang meninggalkan-Nya, terutama iman yang hanya sampai di akal budi saja yang menuntut adanya tanda atau bukti. Akan tetapi, apakah guna dan dan fungsinya bila iman itu harus menuntut tanda atau bukti dari Allah? Bukankah ketika kita meminta tanda atau bukti, termasuk ngotot untuk megalami Allah, itu membuktikan bahwa iman kita adalah bukan iman yang ”sebenarnya” (saya tidak bermaksud bersikap subjektif), iman yang seperti Allah kehendaki? (Ingat bahwa Allah tidak terselami oleh pemikiran kita serta Allah bukan "pesuruh" kita). Iman yang Allah kehendaki adalah iman yang percaya walaupun tidak melihat, artinya di sini tidak membutuhkan tanda ataupun bukti, meskipun kadangkala Ia sendiri yang memberikan bukti kepada kita; iman yang seperti penulis surat Ibrani utarakan: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibr. 11:1)
Pengalaman hidup dengan Tuhan inilah, meskipun terkesan adanya tanda atau bukti, yang menjadikan kita tidak beriman hanya sebatas iman di akal saja, tetapi iman yang mengalami. Lalu apakah orang-orang yang tidak pernah mengalami Allah dalam kehidupannya, adalah orang-orang yang tidak beriman?, tentu hanya ia sendiri yang tahu. Tetapi hemat saya, sedikit banyaknya, orang-orang yang percaya kepada Allah pasti pernah megalami Allah dalam imannya, maupun dalam kehidupan nyatanya sehari-hari. Tinggal ia menafsirkan hal itu, apakah itu dari Allah atau dari dirinya atau pun juga dari orang lain. Dan orang-orang beriman pasti akan mengatakan bahwa itu dari Allah semata.

Akhirnya, janganlah meremehkan pengalaman hidup bersama Tuhan, sebab hal itu sangat penting bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Yang lebih penting lagi adalah jangan takut di bilang pietis atau orang kharismatik, bila kita menyaksikan pengalaman hidup besama Tuhan, sebab pengalaman hidup bersama Tuhan adalah bukti bahwa ia memelihara, Ia hidup dan Ia menyelamatkan seisi dunia, baik dari segi jasmani maupun rohani. Bersyukurlah apabila sampai saat ini kita tetap mengalami Tuhan, dari pada menjadi orang Kristen yang selalu berbicara kasih Allah, keselamatan dari Allah, pemeliharaan dari Allah, tetapi tidak pernah mengalami Dia sebagai Allah yang kasih, Allah yang menyelamatkan di dalam diri Kristus, Allah yang memelihara dan sebagainya.
Selamat mengalami hidup bersama Tuhan!!

Rabu, 16 September 2009

Siapa Yang Benar: Pietisme vs liberalisme?


Edi P. Labang

Istilah pietisme dan liberalisme sangat tidak asing dalam kehidupan umat beragama, secara khusus dalam umat
Kristen sendiri. Karena sangat terkenalnya istilah ini, maka munculah istilah Kristen liberal dan Kristen non liberal.
Orang yang “menyimpang” dari tradisionalisme dan dogmatisme dianggap liberal, sedangkan orang yang tekun beribadah, sering bersaksi, mengakung-agungkan Roh Kudus dan mujizat dianggap orang-orang pietis, apalagi yang sangat senang beraskese. Alangkah sempitnya cara berpikir orang-orang yang hanya menilai demikian saja. Menilai hanya sekilas pandang, lalu mengambil keputusan kemudian mencap dan menghakimi. Itulah orang-orang munafik orang yang menganggap gerejanya, alirannya dan diri meraka adalah orang-orang yang paling benar dan paling beriman.
Anehnya lagi ada orang yang ikut-ikutan mencap pietis atau liberal kepada orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu, tanpa mengerti dan memahami apa arti dari istilah tersebut, itulah namanya mengekor, mau dibodoh-bodohin, dan orang yang sok tahu.
Apa sebenarnya pietisme dan liberalisme itu?, benarkah kedua-duanya adalah sesuatu yang bertolak belakang? Ataukah kedua-duanya memiliki kesamaan?
Dalam kamus teologi dan kamus sejarah gereja, pietism (pietas = kesalehan) pietisme merupakan gerakan keagamaan abad ke -17 berasal dari Jerman yang menekankan pemahaman Alkitab dan pengalaman religius pribadi. Pelopornya, antara lain adalah P.J. Spener. Tujuannya adalah menghidupkan kembali kehidupan iman dalam kalangan orang-orang Protestan di Jerman yang telah menjadi suam karena kebekuan ajaran dan pengaruh semangat pencerahan. Gerakan pietisme telah mendorong berdirinya lembaga-lembaga pekabaran injil di seluruh dunia, sehingga pada abad ke- 19 kegiatan pekabaran Injil menjalar di seluruh dunia. Jadi aliran pietisme ini telah memberikan sumbangsih yang besar bagi berdirinya gereja, secara khusus di Indonesia ini. Apalagi di jaman sekarang ini, di mana adanya kemajemukan dan jaman dunia post modern, kita bisa membayangkan seandainya bila tidak ada orang-orang pietis, orang-orang Kristen mungkin tidak ada yang “beribadah” ke gereja lagi, mungkin juga ada yang menjadi orang-orang “ateis.”
Sedangkan liberal (liber=bebas) memiliki tiga makna yaitu: Murah hati, bebas, orang yang terbuka wawasannya. Liberal protestantism yaitu aliran Protestan yang ingin berteologi sambil bebas dari : Pertama, dogma-dogma dan rumusan-rumusan iman yang tradisional dan kedua, dalam hal memanfaatkan naskah-naskah dan sumber-sumber historis. Liberalisme atau teologi liberal adalah aliran teologi yang terbuka terhadap penelitian ilmiah pengetahuan, penelitian historis, dan terhadap sumbangan kesenian dalam hal memahami agama. Jadi aliran ini adalah di mana teologinya bisa dikatakan lebih kontekstual dan tidak di awan-awan, iman orang kristen makin kritis, serta lebih banyak berbicara yang realisti ketimbang yang abstrak, meskipun lebih terkesan mengandalkan akal budi, tetapi bukankah teologi yang takut dikritisi oleh akal budi, adalah telogi yang tidak jelas, diragukan dan perlu dipertanyakan?
Kedua-duanya, pietisme dan liberalisme, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya. Siapa yang benar?, kita tidak tahu, apalagi ini adalah masalah kepercayaan seseorang atau kelompok, iman seseorang atau kelompok, toh... yang mempertanggung jawabkan imannya nanti, orang atau kelompok itu sendiri, bukan orang lain.
Dengan melihat pejelasan sederhana di atas, tentu orang-orang tersebut sudah bisa membedakan kedua istilah kata itu, tanpa menjadi orang yang sok tahu, hanya bisa mencap dan menghakimi tanpa mengerti arti dan maksudnya.
Usul saya, ada baiknya orang-orang tersebut memperhatikan dan merenungkan beberapa hal berikut sebelum mencap dan mengenakan istilah ini kepada orang lain:

Pietis Tetapi Liberal
Ada orang yang mengaku menganut aliran pietisme termasuk juga yang mengaku fundamental, ortodok, maupun konservatif, tetapi kelakuan hidupnya sangat liberal, bahkan melebihi orang-orang liberal. Anehnya orang seperti ini sangat anti liberal. Tabu bila berkata tentang liberal, sebab yang ia tahu, liberal adalah sesat, bidat dan tidak alkitabiah. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang terlalu lama di dalam tempurung. Saleh dalam beragama, tetapi tidak saleh dalam perbuatan dan tingkah laku. Mengerti dan menghafal seluruh ayat alkitab, tetapi tidak melakukan. Sikap beragama seperti ini adalah tak ubahnya dengan orang-orang farisi dan ahli-ahli taurat pada jaman Yesus hidup. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang menipu diri sendiri dan membuat serta menimbun dosa bagi diri sendiri, apalagi bila berbicara tentang murka Allah, ngeri!.
Jujur pada diri sendiri, pada sesama dan terlebih lagi Tuhan adalah lebih baik, sebab bukankah hidup jujur lebih baik dari pada menjadi orang munafik.
Jangan mudah mencap dan mengenakan istilah liberal kepada orang lain atau kelompok tertentu, bila kelakuan dan tingkah laku si pencap dan si pengena lebih liberal dari orang-orang yang menurutnya liberal.
Kalau memang mengaku pietis dan takut dibilang liberal, hiduplah seperti orang pietis yang beragama dan pietis yang benar serta dewasa dalam beragama, begitu pula dengan orang yang fundamental, konservatif maupun yang ortodok. Dan yang penting adalah lihatlah balok di mata sendiri sebelum melihat dan mencungkil selumbar di mata orang lain. Dan lagi, apakah gunanya menjadi tukang mencap atau menghakimi orang lain?, bukankah lebih baik bertekun dalam kepercayaan sendiri dan menghasikan buah serta menjadi berkat bagi orang lain?. Anehnya, belum cukup rasanya menjadi orang beriman, bila belum menimbang, menilai, mencap dan menghakimi iman orang lain.

Liberal Tetapi Pietis
Ada juga orang yang menganut liberalisme dan orang-orang seperti ini adalah sasaran empuk untuk dicemooh, dijelek-jelekan oleh orang-orang yang mengaku dirinya pietis.
Tetapi tunggu dulu, ternyata orang liberal ada yang lebih pietis dari orang-orang pietis sendiri. Orang-orang yang tidak banyak berbicara, tetapi banyak berbuat, bahkan lebih “manusiawi” dari orang-orang yang menganggap dirinya pietis atau fundamental dan sebagainya.
Orang-orang yang dianggap liberal tersebut adalah orang-orang mau hidup sebagaimana ia ada. Ia mau mengakuai kelemahan dan kekurangannya, ia mau menaggalkan topeng kemunafikan dan mau hidup apa adanya. Berbicara yang realistis, membumi dan lebih manusiawi.
Kalau memang orang itu liberal, biarkanlah. Bukankah itu adalah hal kepercayaan yang masing-masing orang suatu saat nanti harus memepertanggung jawabkan imannya. Mau dia masuk surga atau neraka, itu hak dia dan bukan pekerjaan serta usaha kita, kata kasarnya ”Bukan urusan kita”!.
Namun demikian, para penganut liberalisme juga tidak perlu mencap atau menghakimi orang-orang yang menganut pietisme. Kadangkala orang-orang liberal mencap orang pietis sebagai orang yang ortodok, konservatif, radikal, dan fundamental, hal ini menurut mereka dikarenakan orang-orang pietis hidup dalam iman tradisionalisme dan dogmatisme. Seperti halnya orang-orang pietis tadi, lebih baik sedikit berkata-kata, tetapi banyak berkarya nyata. Dan jangan terlalu sibuk menganggap orang-orang pietis adalah orang-orang yang dibodoh-bodohi oleh gereja atau bapa-bapa gereja, karena rumusan dogmatisme dan iman tradisionalisme geraja mula-mula. Apalagi memanas-manasi orang-orang ortodok, fundamental, konservatif dengan penemuan-penemuan baru, sebab orang-orang tersebut akan mengutuk tujuh kali tujuh turunan, karena mereka memiliki beribu-ribu bahkan lebih ayat-ayat Alkitab untuk membela diri dan membela alirannya. Sekali lagi, ini adalah masalah kepercayaan.

Akhirnya, dari pada repot-repot menghakimi selumbar di mata orang lain dan menyiapkan cap bagi orang atau kelompok tertentu, lebih baik perdalam iman, perdalam perbuatan, jangan banyak berteori, tetapi lakukanlah. Buktikanlah bila diri atau kelompoknya adalah orang beragama yang tidak hanya berbicara surga dan neraka yang jauh di sana, tetapi bisa menciptakan surga di bumi, di mana setiap orang yang rindu merasakan nikmatnya surga di sana, tetapi dapat dirasakan saat ini, sekarang ini, dan di bumi ini. Dan jangan menjadi orang pietis tetapi prilakunya paling liberal, bahkan lebih liberal dari segala makhluk yang hidup di bumi ini, begitu pula dengan orang-orang liberal yang ujung-ujungnya gila, karena terlalu banyak berpikir, terlalu terbuka, hingga lupa menutupnya!, nah lho....!Jargon “melampaui kitab suci’ dapat dibaca sebagai “rasio melampaui iman” . Pencipta mengimani hasil ciptaannya sendiri. Penganut liberalisme menjadikan rasio sebagai ukuran satu-satunya untuk membatasi apa yang ada dan apa yang tidak ada; apa yang benar dan apa yang tidak benar; apa yang historis dan apa yang tidak historis. Ingat bahwa apa yang tidak kita ketahui, belum berarti bahwa itu tidak ada, apa yang masih merupakan misteri, belum berarti bahwa itu tidak benar.

Rabu, 09 September 2009

ASAL MULA JEMAAT KAPAL SELAM


Edi P. Labang

Salah satu permasalahan yang paling banyak dihadapi oleh gereja-gereja dewasa ini adalah maraknya jemaat Kapal Selam. Istilah jemaat kapal selam sering kali kita dengar, namun dalam tulisan ini, jemaat KTP, Jemaat Tahunan (Natal), dan jemaat timbul tenggelam (minggu ini datang, kemudian cuti tiga minggu), jemaat fanatisme, saya sebut dengan istilah “Jemaat Kapal Selam”.
Secara jujur, banyak gereja yang tidak sadar akan hal ini. Kalaupun ada, permasalahan ini dianggap sebagai suatu masalah yang biasa-biasa saja. Cara bergereja jemaat seperti itu dianggap bukan sebagai ancaman, sebab banyak gereja merasa aman-aman saja berada dalam situasi tersebut. Celakanya apabila ada gereja yang tahu akan permasalahan tersebut, tetapi tidak mau tahu. Jemaat datang dan pergi sesuka hati, sebab hal itu memang sudah tradisi dan merupakan suatu kebiasaan yang lazim dilakukan.
Ada juga gereja yang sangat serius menanggapi hal ini, tetapi hanya sebatas berada di awan-awan saja. Perkunjungan jemaat, pembinaan pastoral, pemberian sembako, melibatkan jemaat dalam pelayanan, semuanya ini baik tetapi kurang tepat, buktinya paling-paling seminggu atau pun sebulan lamanya bertahan, sehabis itu kembali seperti semula (timbul tenggelam). Gereja harus menemukan letak dasar permaslahan ini dan mencabutnya sampai ke akar-akarnya, sehingga permasalahan ini dapat teratasi.
Dari manakah akar permasalahan munculnya jemaat kapal selam?
Ada beberapa faktor yang harus kita evaluasi secara bersama-sama dan ditanggapi secara serius, bila gereja-gereja tidak mau jemaatnya seperti kapal selam.

Buah Ketekisasi Jadul
Gereja mana yang tidak berbangga bila mendapatkan jiwa-jiwa baru atau mengalami pertambahan anggota jemaatnya, akan tetapi mari kita renungkan: Apakah anggota jemaat baru tersebut, benar-benar seperti apa yang gereja harapkan?, lalu mengapa di dalam gereja tersebut lahir Jemaat Kapal Selam?
Nah, apa yang salah dan dimana letak kesalahan gereja tersebut?
Letaknya ada pada pengejaran kelas katekisasi gereja itu sendiri. Yang salah bukan pengajaran semata, tetapi dari materi dan metode penyampaian yang tidak kena pada sasaran yang ingin dicapai.
Dari hal pengajaran, kadang kala gereja tidak mau terbuka terhadap pengajaran-pengajaran baru yang bisa dijadikan bahan referensi untuk materi katekisasi.
Materi yang digunakan adalah materi dari jaman dahulu kala (jadul), yang dicari di tokoh buku mana pun sudah tidak ada lagi. Pengajaran konservatif seperti inilah yang akhirnya melahirkan tidak hanya jemaat kapal selam, tetapi orang-orang fanatik yang berpikiran sempit, menganggap diri paling benar dan orang lain sesat.
Dengan menerima pengajaran-pengajaran baru, bukan berarti meninggalkan atau mengabaikan inti doktrin gereja itu sendiri, tetapi gereja harus mau terbuka terhadap hal-hal baru yang bisa dijadikan bahan perbandingan. Ada banyak buku-buku katekisasi yang baru dan berbobot, namun anehnya masih ada gereja yang tetap memakai buku katekisasi yang sudah kadarluarsa itu. Buku itu seakan-akan berisi pengajaran yang mutlak, dan tidak ada kebenaran lain di samping itu. Seakan-akan pengajaran-pengajaran lama tersebut adalah wahyu langsung dari Allah dan tiket satu-satunya untuk seseorang dikatakan bisa dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Metode Penyampaian pun dalam hal ini, masih banyak gereja-gereja yang terlalu kaku dalam menyampaikan pengajaran katekisasi. Hal ini tidak ada ubahnya dengan sistem pendidikan di sekolah-sekolah yang formal.
Peserta kelas katekisasi hanya datang, mengisi absent, duduk, diam, menghafal, dan pulang, begitu seterusnya sampai pada jangka waktu yang telah ditentukan untuk akhirnya dibabtis.
Pengajaran yang kaku, sistem sekolah formal tersebut memberi peluang terbesar lahirnya para tokoh-tokoh munafik yang suka bertopeng di gereja dan tidak ketinggalan pula jemaat kapal selam.
Penyampaian metode harus kreatif dan dan jangan terlalu kaku. Tempat untuk belajar katekisasi tidak harus di gereja saja, metode penyampaian tidak harus selalu satu metode saja dan yang penting adalah evaluasi pembelajaran-pembelajaran yang telah disampaikan, paling tidak satu kali dalam dua atau tiga kali pertemuan. Tujuannya adalah agar pembelajaran katekisasi tersebut sesuai dengan apa yang menjadi tujuan umum atau khusus gereja tersebut.
Isi pengajaran katekisasi pun kadang kala di awan-awan. Jemaat hanya diajarkan hal-hal yang bersifat teologis, tetapi hal-hal yang berhubungan dengan masalah sosial, masalah kehidupan rumah-tangga serta kebutuhan-kebutuhan jasmani lainnya diabaikan (tidak ada keseimbangan). Pengabaian ini terjadi karena gereja yang mengadakan kelas katekisasi tersebut tetap memegang kuat doktrin-doktrin konservatif kuno, buku-buku katekisasi dan tradisi-tradisi gereja yang sudah dikeramatkan, tidak dapat diganggu gugat, karena tabu. Maka jangan heran bila digereja tersebut, sekali lagi saya katakan, lahir para fanatisme, tukang kritik pengajaran/aliran lain yang berbeda dengannya, dan tidak ketinggalan pula para tokoh-tokoh munafik serta jemaat kapal selam.

Buah dari GBN (Gereja Baru Nonggol)
Maraknya GBN juga menjadi pemicu munculnya jemaat kapal selam. Gereja kadangkala sibuk bermisi atau mengadakan penginjilan serta membuka pos PI di mana-mana. Yang dipikirkan adalah seberapa banyak gereja memenangkan jiwa bagi Kristus, seberapa hebat gereja Anu dan Situ memperluas pos-pos PI, sehingga dikatakan gereja yang hebat, gereja yang bermisi bahkan gereja yang diberkati. Gereja bermisi dan membuka pos-pos PI, sangat Alkitabiah, hanya saja bagaimana dengan nasib orang-orang yang gereja himpun tersebut, apakah gereja puas bila hanya sampai pada tahap itu saja?, sementara ada nilai-nilai kristiani yang lain diabaikan, yang sangat penting dan paling penting.
Banyak gereja yang belum sadar akan hal ini dan jatuh dalam satu ekstrim, yang hanya menekankan satu sisi dan mengabaikan sisi yang lain.
Jemaat boleh bertambah banyak dan pos PI boleh seperti jamur di musim penghujan, tetapi gereja jangan lupa untuk memikirkan nasib jemaat itu sendiri. Sebab kenapa, banyak GBN yang asal berdiri tanpa ada tindak lanjut seperti adanya pengajaran katekisasi, penanaman nilai-nilai sosial, kehidupan berumah tangga, pelatihan-pelatihan untuk menunjang kehidupan jemaat dan lain sebagainya.
Sikap gereja GBN ini tidak ubahnya seperti para pekerja upahan, yang hanya bisa bekerja, mengumpulkan dan menyerahkan hasil pekerjaannya kepada Sang Mandor. Sang Mandorlah yang melanjutkan hasil dari para pekerja upahan tersebut, sebab Sang Mandor dipercaya memiliki segala-galanya, tinggal minta saja, sementara para pekerja upahan terus bekerja dan mengumpulkan dan akhirnya menyerahkan, begitu seterusnya.
Jangan heran bila timbul banyak jemaat KTP, Jemaat Tahunan (Natal), dan jemaat timbul tenggelam (minggu ini datang, kemudian cuti tiga minggu), jemaat fanatisme, dalam gereja tersebut, bila melihat dari kenyataan di atas.
Gereja-gereja yang demikian, sebaiknya berpikir yang realistis saja. Biar jemaatnya sedikit, biar pos PI hanya satu ataupun tidak ada sama sekali, tetapi jemaatnya dewasa dalam beragama, setia kepada pengajaran gerejanya, bisa mengelola hidupnya dengan baik, tidak berpikir sempit, tidak suka menghakimi gereja lain bahkan agama lain, yang intinya tidak menjadi jemaat kapal selam.

Buah dari Gereja Sembako
Gereja seringkali memberikan iming-iming kepada calon jemaat ataupun orang di luar jemaat, untuk bisa datang ke gereja, yakni dengan memberikan sembako atau bantuan bea siswa.
Strategi gereja yang seperti ini, menurut saya adalah keliru. Sangat membumi bila gereja melakukan aksi sosial, dan tindakan kemanuasiaan lainnya, tetapi itu bukan dijadikan alat untuk bermisi, memperbanyak jemaat, mendirikan GBN dan lain sebagainya.
Orang menjadi Kristen hanya karena satu karung beras, satu kardus Mie, satu kaleng minyak goreng dan lain sebagainya. Sebab itu muncul istilah Kristen sembako. Bila ada pembagian sembako datang ke gereja, dan bila tidak ada sembako, tidak pergi ke gereja.
Anahnya gereja-gereja yang melakukan kegiatan tersebut, sangat berbangga dan rasanya sukacita surga telah mengalir atasnya. Tapi tunggu dulu, benarkah rasa bangga dan sukacita yang dirasakan adalah sukacita bahwa calon jemaat atau orang lain di luar jemaat tersebut menunjukkan dirinya benar-benar sebagai orang kristen sejati?
Itulah yang namanya rasa bangga dan sukacita yang keliru. Tidak menyadari bahwa ada jemaat lama yang sudah bertahun-tahun bergereja tidak diberi sembako dan bea siswa, yang mungkin pada saat-saat tertentu sangat membutuhkan, tetapi sesuatu yang belum terbukti, itu yang diutamakan. Gereja tersebut sebenarnya sedang membodohi dirinya sendiri.
Kegitan pembagian sembako atau pemberian bea siswa, sebaiknya jangan dijadikan alat untuk menarik orang agar menjadi kristen. Alangkah lebih baik bila gereja mau memberi bantuan sosial dan bantuan kemanusiaan lainnya, hanya karena ketulusan dan rasa peduli gereja tersebut terhadap sesamanya, yang disalurkan secara wajar. Atau pun gereja tersebut mulai belajar untuk melihat ke dalam, paka terhadap kebutuhan jemaat yang sudah ada, bukan yang belum jelas statusnya. Lebih baik orang masuk kristen, karena mereka melihat kehidupan jemaat bergereja yang benar, dewasa dalam beragama, peduli akan sesama dan aksi sosial lainnya, karena kesadaran dan keputusan hati nurani mereka sendiri, dari pada menjadi kristen dengan iming-iming dan motivasi yang salah. Jemaat kapal selam pun akan hilang lenyap yang ada hanya jemaat yang cinta akan gereja dan Sang Pemiliknya.

Jemaat Nomaden
Istilah mencuri domba sangat sering kita dengar, seperti gereja Anu mencuri domba gereja Situ begitu pula sebaliknya.
Munculnya istilah ini adalah dari jemaat kapal selam, jemaat sembako dan bea siswa dan jemaat pencari jati diri.
Gereja seringkali terjebak dan tertipu oleh jemaat nomaden ini. Pagi orang-orang tersebut ke gereja Anu, siang pergi ke gereja Situ, sore pergi ke gereja Sono, begitu seterusnya.
Bahkan ada keluarga yang sengaja berpencar gereja, demi untuk kepentingan lain.
Kenapa demikian?, hal ini karena ada udang di balik bakwan. Mereka tidak nampak seperti para petualang, karena mereka memakai topeng khusus yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa.
Wasapadalah gereja akan jemaat nomaden ini, sebab bila tidak gereja akan menjadi agen sembako dan agen-agen tindak kemanusiaan lainnya, yang tak ubahnya seperti sebuah lembaga sosial sekuler. Orang ke gereja bukan untuk mencari Tuhan, tetapi mencari bantuan ekonomi. Memang tidak salah bila di dalam gereja orang bisa merasakan kasih antar sesama anak Tuhan dan gereja mencari lapangan pekerjaan bagi jemaat, tetapi bukan itu yang dimaksud di sini. Gereja harus peka terhadap jemaat-jemaat seperti itu. Beri mereka pemahaman dan pembinaan yang intensif dan berkelanjutan, sampai mereka benar-benar menjadi jemaat yang dewasa dalam beragama.

Kesimpulan:
Jemaat kapal selam adalah korban dari gereja yang terlalu konservatif, tertutup dan gereja yang lebai (istilah bahasa gaulnya), gereja yang suka memberi iming-iming tetapi akhirnya diiming-iming juga oleh jemaatnya.
Gereja harus bersikap kritis dalam hal ini, karena bila tidak maka Jemaat Kapal Selam ini akan seperti jamur di musim penghujan. Lebih baik jemaat sedikit di mana kebutuhan rohani dan jasmaninya seimbang, dewasa dalam beragama, setia kepada pengajaran gerejanya, bisa mengelola hidupnya dengan baik, tidak berpikir sempit, tidak suka menghakimi gereja lain bahkan agama lain, yang intinya tidak menjadi jemaat kapal selam, dari pada gereja bercita-cita memperbanyak jemaat, tetapi menelantarkan orang lain hanya karena ambisi yang keliru, hanya karena program-program gereja harus dijalankan, apalagi sebagai tuntutan kependetaan atau kemandirian gereja dan sebagainya.