Kamis, 11 Maret 2010

Sifat-Sifat Allah Dan Penderitaan Manusia


Allah dikenal oleh umat-Nya sebagai Allah Yang Mahabaik, Mahaadil, Mahakuasa, Mahapengasih, Penyayang dan sebaginya. Itulah sifat-sifat yang sering digunakan umat beragama dalam mendefinisikan imannya kepada Allah. Akan tetapi di tengah-tengah penderitaan manusia saat ini, sifat-sifat tersebut selalu dipertanyakan kembali. Ketika terjadi bencana alam, kelaparan, penindasan dan lain sebagainya, di manakah Allah?, Dia yang dikenal dan diimani dalam definisi sifat-sifat-Nya?.

Tidak jarang ketika sifat-sifat Allah tersebut dipertanyakan, banyak orang Kristen yang jatuh dalam teodice. Sifat Allah tidak boleh diganggu-gugat, dipertanyakan, sebab ada keyakinan bahwa Allah selalu benar dalam segala perbuatan-Nya. Pemahaman akan sifat Allah semacam ini membuat sebagian golongan Kristen salah dalam menanggapi segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta ini, termasuk masalah bencana alam, penindasan, ketidakadilan dan sebaginya. Dengan pemahaman seperti ini sering muncul klaim bahwa hukuman Tuhan nampak dalam kejadian-kejadian seperti bencana alam, ketidakadilan, orang yang berada dalam penderitaan tersebut adalah karena hukuman Tuhan, dan Tuhan punya maksud baik dalam penderitaan tersebut. Memahami sifat-sifat Allah seperti ini sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan, malah semakin membuat penderitaan bertambah.

Ada pula teolog yang mengatakan bahwa sifat -sifat Allah itu harus dipahami sebagai ekspresi iman. Allah yang Mahabaik, Mahakuasa, Mahaadil, harus dipahami sebagai ekspresi iman orang-orang percaya. Akan tetapi ini pun masih bisa dikatakan sebagai teodice, karena kalau hanya sebatas ekspresi iman, berarti Allah abstrak, melarikan diri Allah dari tanggung jawab-Nya. Ia tidak pernah benar-benar campur tangan secara nyata dalam kehidupan umat-Nya. Maka ketika terjadi penderitaan, Allah tidak bisa digugat, sebab sifat-Nya itu hanyalah sebuah ekspresi iman. Hal ini juga sebenarnya ingin menentang filsafat Yunani yang selalu menggugat atribut-atribut Allah. Dalam filosofis Epikur (341-270 SM) diuraikan dilema antara Allah yang Mahabaik, Mahakuasa, dan adanya Allah itu sendiri. Efikur yang membuat rumusan klasik teodice sejaman dengan pengarang buku Ayub dari Kitab Suci Yahudi. Rumusan ini menunjukkan sebuah dilema yang dihadapi apabila orang mempertahankan Allah di satu pihak dan tidak menutup mata dan mulut terhadap penderitaan di lain pihak. “Rumusan tersebut berbunyi: Atau Allah mau mengatasi malum tetapi Dia tidak dapat melakukannya, atau Dia dapat tetapi tidak mau melakukannya, atau Dia tidak dapat dan juga tidak mau melakukannya. Apabila Dia mau tetapi tidak dapat, maka Dia lemah, sesuatu yang tidak cocok untuk Allah. Kalau Dia dapat tetapi tidak mau, maka Dia jahat dan ini pun seharusnya asing dari Allah. Kalau Dia tidak mau dan tidak dapat, maka Dia sekaligus jahat dan lemah dan karena itu juga bukan Allah. Tetapi kalau Dia dapat dan mau, hal yang memang patut untuk Allah, darimana asal malum dan mengapa Dia tidak meniadakannya?.”1

Iman Israel adalah iman yang lahir dari karya-karya Allah, sehingga melalui karya yang nyata dalam sejarah, sifat-sifat akan Allah didefinisikan. Iman kepada Allah bukan eskpresi semata, tetapi nyata dalam sejarah. Ia benar Mahakuasa, Mahaadil, Mahabaik dan sebagainya. Maka ketika terjadi ketidakadilan, penindasan, bencana-bencana lainya, orang-orang Israel berani mengugat Allah, berani mempertanyakan akan keberadaan Allah, tidak hanya diam.

Menempatkan Allah pada posisinya adalah yang patut dipertimbangkan. Hal ini memberi implikasi bagi kita untuk tidak jatuh ke dalam ekstrim teodice. Adalah lebih bijak bila kita mencoba memahami sifat-sifat Allah itu nyata dan bukan hanya sebuah ekspresi iman semata. Manusia sudah hakekatnya bergumul dengan penderitaan dan manusia tidak punya kuasa untuk menaklukan kekuatan alam semesta di mana ia ditempatkan, meskipun demikian, Allah selalu hadir di dalam penderitaan manusia, sebab ketika manusia mampu untuk bertahan dalam penderitaan, berani membela orang-orang tertindas, memperjuangkan hak-hak orang miskin dan ketika adanya kepedulian dari sekelompok kaum dermawan, dan sebaginya, itu semua adalah karya Allah, itu semua mencerminkan sifat-sifat Allah.

Tidak sedikit orang yang salah dalam memahami sifat-sifat Allah dan akhirnya meninggalkan kepercayaannya kepada-Nya. Sejarah gereja memperlihatkan Marcion, yang memisahkan Allah PL dan PB, dalam perkembangan kekritenan selanjutnya muncul Charles Templeton, yang akhirnya menjadi atheis dan banyak contoh lainnya.

Kita tidak perlu membela Allah, sebab Ia sendiri tidak membutuhkan pembelaan kita, atau pun kurangnya pembela. Ia bukan seperti seorang pemimpin lalim yang tidak bisa “dikritik dan diganggu-gugat”, karena kita telah mengurung Allah dalam doktrin dan dogma yang sempit dan fanatisme. Allah lebih dari apa yang doktrin dan dogma kuno ajarkan.
Wajar bila manusia mempertanyakan kembali akan sifat-sifat Allah tersebut ketika terjadi penderitaan, sebab itu adalah bukti kesungguhan imannya kepada Allah, dan itulah iman. Sebab ketika manusia takut mempertanyakan akan sifat-sifat Allah, imannya patut dipertanyakan, jangan-jangan telah menjadi suam atau terlalu fokus ke surga nan jauh, sehingga tidak ada lagi rasa empati terhadap penderitaan sesama.



Catatan singkat:
Teodice (theodicea) berasal dari ungkapan Yunani: theos yang berati Allah, dan dike yang berarti keadilan, atau pembenaran atau pembelaan dalam sebuah proses pengadilan. Teodice berarti pembelaan Allah.

Malum adalah keburukan yang menyebabkan orang merasa menderita atau yang menyebabkan penderita.