Kamis, 08 April 2010

Patriakhal: Mendiskriminasi Perempuan? (Ditinjau dari sudut pandang Perjanjian Lama)



Oleh: Devi Siskawati
(Teman Tingkat, Semester VIII Mahasiswa STTC)



Banyak pandangan atau pendapat yang mengatakan bahwa dalam Perjanjian Lama kedudukan seorang perempuan tidak dianggap penting. Perempuan selalu tidak diperhitungkan keberadaannya. Kedudukan lelaki adalah superior sedangkan perempuan adalah inferior. Hal ini karena pengaruh budaya patriakhal yang dianut oleh bangsa Israel. Budaya patriakhal ini dianut dari bangsa-bangsa di sekitar Israel. Tetapi, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: apakah benar budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama dan masyarakat Yahudi mendiskriminasi kaum perempuan? Apakah Perjanjian Lama mengabaikan perempuan? Dalam tulisan ini, penulis hendak mengajak kita untuk membuka pikiran kita supaya kita tidak berpandangan naïf terhadap kedudukan perempuan dalam Perjanjian Lama, khususnya menyangkut budaya patriakhal yang menurut pandangan banyak orang mendiskriminasi kaum perempuan. Dalam tulisan ini, penulis juga akan meneliti kebudayaan patriakhal dari bangsa-bangsa di sekitar Israel dan bangsa Israel. Penulis meneliti kebudayaan di luar Israel karena kebudayaan patriakhal yang ada di Israel merupakan hasil adopsi dari bangsa-bangsa di sekitar Israel.

Budaya Patriakhal dalam Kebudayaan Bangsa-bangsa di Luar Israel.

Mesir
Kata bapa digunakan secara figuratif untuk menggambarkan hal-hal seperti ‘I was father to the child’ dan dia adalah ‘a father to orphans, a husband to widows’. Seorang pejabat harus menjadi “bapa yang baik bagi masyarakat yang dipimpinnya”. Dengan kata lain, makna bapa dalam kebudayaan Mesir adalah sebagai pemelihara atau penjaga anak-anaknya.

Mesopotamia
Sistem kekeluargaan Mesopotamia bersifat patriakal. Bahasa Akkad menggunakan kata abu (m) untuk kata bapa. Merupakan sebuah tanggung jawab ayah untuk menjadi penopang dan pelindung bagi keluarganya. Kita dapat melihat berbagai gambaran mengenai ayah yang baik di dalam pandangan orang-orang Mesopotamia. Sebagai contoh: “seorang raja sebagai pemimpin bangsa harus memperlakukan hambanya sama seperti seorang ayah memperlakukan anaknya”. Ini memberi gambaran kepada kita bahwa seorang ayah pasti melindungi anaknya.

Agama Semit Barat
Makna bapa adalah sebagai pelindung yang melindungi keluarganya.

Budaya Patriakhal dalam Kebudayaan Israel
Bentuk kemasyarakatan yang digambarkan oleh Alkitab tentang sistem politik Israel adalah sebuah sistem kekeluargaan. Sistem kekeluargaan ini dipelihara dalam bentuk silsilah. Silsilah ini tidak hanya menggambarkan hubungan darah, tetapi juga hubungan ekonomi, status sosial, dan kekuasaan yang mana dapat terlihat di dalam komunitas. Seorang ayah berfungsi untuk melindungi negerinya dan keluarganya. Seorang ayah dalam kebudayaan Israel memiliki kekuasaan untuk: mengadopsi putera atau puteri (seorang anak diakui sebagai anggota suatu kelompok/klan apabila ketika dia lahir, pemimpin klan itu menerimanya, apabila tidak, maka bidan yang membantu proses persalinan mengambilnya dan meletakkannya di tempat terbuka dan mengumumkan bahwa anak ini dapat diadopsi oleh kelompok/klan yang lain), menerima pekerja-pekerja, bernegosiasi mengenai pernikahan dan menentukan ahli waris. Selain itu, seorang ayah juga bertanggung jawab untuk mengatur anak-anaknya dan mengajarkannya tentang kasih Allah (Ul.6:7). Dalam kebudayaann Israel, ayah memiliki peranan yang sangat penting. Ayah adalah kepala rumah tangga, anak-anaknya hormat terhadap dia (Mal.1:6). Dia mengontrol anggota keluarganya yang lain seperti pengrajin mengontrol tanah liatnya (Yes.64:7). Ketika seseorang dipanggil dengan sebutan ayah, sebenarnya hendak menunjukkan otoritasnya. Misalnya saja: Naaman dipanggil dengan sebutan bapa/ayah oleh para hambanya (2 Raj.5:13), Elia dipanggil bapa oleh murid-muridnya (2 Raj 2:12). Para imam dipanggil sebagai bapa oleh komunitas kultus (Hak.18:9).


Dari tulisan ini saya mau mengajak kita untuk melihat sisi positif dari budaya patriakhal itu sendiri. Budaya patriakhal merupakan sarana kasih Allah kepada umat Israel. Kita melihat dari segi tanggung jawab para lelaki yang terdapat dalam Alkitab. Seorang lelaki atau seorang bapa memiliki tanggung jawab yang besar untuk kaum atau klannya. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa dalam kebudayaan Israel maupun kebudayaan di luar Israel tidak ada maksud untuk mendiskriminasi perempuan. Misalnya saja dalam kebudayaan Mesopotamia: seorang ayah haruslah dapat menjadi penopang dan pelindung bagi keluarganya. Jadi, di mana letak kesalahannya? Yang salah adalah kita yang memiliki pemikiran naïf terhadap budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama. Sekali lagi saya hendak menegaskan bahwa budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama tidak mendiskriminasi keberanaan kaum perempuan. Saya tidak menentang kaum feminis, tetapi janganlah kita mendramatisir apa yang dirasakan oleh kkaum perempuan pada waktu itu. Kita dapat melihat dalam Perjanjian Lama, tidak ada perempuan yang komplain akan keberadaannya sebagai perempuan. Hal ini karena kaum lelaki memang melindungi kaum perempuan. Perempuan sangat diperhatikan dalam Perjanjian Lama. Kita dapat melihat bahwa seorang janda pun diperhatikan oleh masyarakat. Buktinya, dapat kita lihat dalam tahunYobel. Selain itu kita juga dapat melihat dalam perkawinan ipar (go’el). Seorang wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya akan dikawinkan dengan iparnya. Kita dapat melihat dalam kasus Rut dan Boas. Perempuan yang telah ditinggal mati oleh suaminya dapat menikah lagi dengan saudara laki-laki dari suaminya. Hal ini bertujuan untuk melindungi perempuan tersebut. Kaum lelaki dan perempuan adalah sama, sama-sama penting dan sama-sama saling membutuhkan. Marilah kita sama-sama saling mengisi dan jangan kita menganggap lebih superior dari yang lainnya.