Senin, 20 Mei 2013

Datanglah Ya Roh Pembaharu (KPR. 2:22-24)

 













Ringkasan Khotbah bulan misi  


Pendahuluan
Setelah peristiwa kebangkitan,  para murid Yesus diperhadapkan pada beberapa pilihan yang sulit:
  Kembali hidup seperti sebelum mereka dipanggil dan menerima segala pengajaran dari Yesus,  atau
  Melaksanakan Amanat Agung yang diberikan oleh Tuhan Yesus sebelum Ia terangkat ke surga.

Untuk memutuskan pilihan yang sulit ini, para murid (orang-orang percaya) berkumpul dan bergumul bersama di Yerusalem  untuk mengambil keputusan yang tepat.

Yesus mengerti akan pergumulan para murid pada waktu itu, Ia merasa mereka perlu dibaharui , yakni dengan mencurahkan Roh Pembaharu/Roh Kudus  atas hidup mereka.
Hasilnya, para murid mengalami pembaharuan yang luar biasa , mereka berani menyampaikan iman mereka dengan cara yang mengoncangkan seluruh dunia Romawi. 

Konteks:

Lukas sebagai penulis Kisah Para Rasul sangat menaruh perhatiannya kepada bagaimana  Agama Kristen mampu merombak dari Yerusalem sampai ke Roma. Gereja mula-mula telah dengan sangat luar biasa mengubah dunia, hal ini nampak nyata dalam  kisah para murid dan rasul-rasul seperti Paulus dll.

Bagian yang tertera merupakan khotbah Petrus kepada orang banyak – kepada para peziarah dari berbagai penjuru kekaisaran Romawi yang datang ke Yerualem – Pentakosta Yahudi. Melalui nats khotbahnya (Yoel 2:28-32), Petrus menjelaskan peristiwa yang sedang terjadi, kepada para peziarah Yahudi – pengenapan nubuat Nabi Yoel. Roh Pembaharu menyertai Khotbah Petrus – 3.000 jiwa bertobat  dan dibabtis di dalam nama Tuhan Yesus Kristus (KPR. 2:41). Mereka juga diperbaharui secara total : Bersatu, saling berbagi, bersukacita dan bergembira     bersama, dan tiap-tiap hari TUHAN menambahkan jumlah mereka (KPR. 2:42-47) 

Jadi, Roh pembaharu telah memperbaharui seluruh aspek kehidupan orang-orang percaya , sehingga mereka menjadi Agen Kerajaan Allah yang  menguncangkan dunia.

Aplikasi:
Ketika komunitas gereja kita diperhadapkan dengan berbagai pilihan-pilihan yang sulit, kita perlu Roh Pembaharu.

Bagaimana caranya agar Roh pembaharu itu hadir?

1. Menjadi  satu di dalam komunitas  -  komunitas orang percaya (KPR. 2:1)
Roh pembaharu tidak akan pernah hadir dan bekerja di dalam komunitas yang terpecah-pecah, terkotak-kotak, yang di dalamnya ada egoisme pribadi/kelompok dll, tetapi Roh pembaharu akan hadir dan bekerja hanya di dalam komunitas yang sehati-sepikir – komunitas yang bersatu (bnd. Ef. 4:3-7;Fil. 2:2b; 4:2b)

2. Berani mempertanggungjawabkan iman (KPR. 2:5-40)
Mempertanggungjawabkan iman adalah tugas orang-orang percaya. Jangan takut, sebab Roh pembaharu akan menolong kita dalam memberi jawab atas apa yang kita imani tersebut. 

Penutup
Kiranya Roh pembaharu itu hadir senantiasa di dalam komunitas kita, mengubahkan seluruh aspek kehidupan kita secara holistik – komunitas kita menjadi komunitas yang luar biasa yang mampu mengoncangkan Indonesia dan dunia – banyak jiwa akan Tuhan tambahkan ! Amin!




















Sabtu, 16 Juli 2011

SISI LAIN DARI SPIRITUALITAS

Beberapa pertanyaan kritis cukup menantang untuk dijawab dalam berbagai tafsir dan definisi perihal spiritualitas. Di antaranya adalah; Apakah spiritualitas perayaan hidup yang menjadi inti setiap religi mampu menjawab kekerasan teror, ketidakadilan, kemiskinan, dan penghancuran alam serta tega pembunuhan sesama manusia atas nama ideologi, kepentingan kuasa, dan keserakahan ekonomi yang mau melahap seluruhnya atas nama sistem dan strukrur?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tentu tidak semudah membalikan telapak tangan, mengingat penajaman dan penyadaran diri akan spiritulaitas merupakan yang batin, yang interior, dari setiap religi.

Inti religi kristiani misalnya, spiritualitas seringkali diartikan sebagai fanatisme beragama; sebagai suatu sikap hyper-religius yang menjalankan dan menonjolkan hidup keberagaman secara berlebihan; sebagai suatu sikap beragama secara emosional yang menyingkapkan emosi dan sentimen religius secara mencolok (misalnya dengan cara menagis, menari, berteriak, dan lainnya); sebagai upaya untuk hidup saleh dan seterusnya.

Berbagai tafsir dan definisi spiritualitas seperti inilah yang pada akhirnya membuat lingkaran penghayatan hidup dengan semangat kerohanian terpecah, antara suci sekali di ruang doa namun lain dalam aksi pasar ramai kehidupan. Makanya tidak mengherankan, ketika di luar lingkungan (pasar ramai kehidupan) gereja seringkali gagap berbicara tentang masyarakat. Akibatnya, gereja tertinggal dalam proses transformasi sosial dan cenderung tak bertanggung jawab – tanpa visi sosial. Kesalehan vertikal (kesalehan pribadi) tidak diimbangi dengan kesalehan horizontal (kesalehan sosial) yang berkembang bersama kepekaan sosial – kesalehan yang berpihak pada kebenaran dan keadilan, korban dan yang tertindas.


Salah satu tafsir dan definisi tentang spiritualitas yang patut untuk dipertimbangkan adalah dimana spiritualitas kristiani merupakan ungkapan sikap hidup yang selalu berkarya, karena dengan berkarya itulah hidup kita menghidupkan orang lain serta membawakan kebaikan bagi semua orang yang pada dasarnya adalah sesama ciptaan Tuhan. Dengan perkataan lain, spiritualitas kristiani bukanlah hanya menyangkut kegiatan rohani saja, tetapi lebih penting lagi ia membuahkan hasil-hasil kegiatan konkret yang dibutuhkan manusia untuk membangun dirinya sebagai manusia yang utuh di dalam dunia ini. Dan inilah sisi lain dari spiritualitas.

Selasa, 27 Juli 2010

SISI LAIN MUKJIZAT


Mukjizat merupakan topik yang cukup paradoksial; jarang dialami, banyak dinantikan. Di kalangan Kristen, mukjizat bukan semakin ditolak namun semakin digandrungi. Meskipun demikian, di ekstrem yang lain perkembangan ilmu pengetahuan juga mendorong sekelompok orang lainnya (Kristen maupun non Kristen) untuk menolak semua hal yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.

Mukjizat seringkali dipikirkan sebagai peristiwa yang terjadi berlawanan dengan hukum alam sehingga tidak dapat diterangkan oleh akal budi dan ilmu. Peristiwa-peristiwa seperti: Laut yang tiba-tiba surut mengering, matahari yang diam tak bergeser, air yang berubah menjadi anggur, roti yang sedikit cukup untuk memberi makan ribuan orang, orang sakit sembuh dan orang mati hidup lagi, dianggap menyalahi hukum alam yang berlaku.
Menurut pandangan beberapa teolog, salah seorang naturalis yang amat berpengaruh dalam penolakannya terhadap mukjizat adalah David Hume (1711 –1776) yang merupakan seorang filsuf dan sejarawan yang juga memainkan peranan kunci dalam sejarah filsafat Barat dan Pencerahan di Skotlandia. Argumentasi penolakan Hume terhadap mujizat dapat dirangkumkan sebagai berikut: Hukum alam secara definisi adalah deskripsi dari peristiwa yang terjadi secara teratur; Mujizat secara definisi adalah peristiwa yang jarang terjadi; Bukti untuk hal yang teratur selalu lebih besar daripada yang jarang; Orang yang bijaksana selalu mendasarkan kepercayaannya pada bukti yang lebih besar; Oleh karena itu, orang yang bijaksana seharusnya tidak pernah percaya mujizat. Ringkasnya, kesaksian tentang mukjizat harus ditolak oleh orang terdidik dan berakal sehat. Menurut Martin Harun, kalau diamati dengan baik, argumen sang empiris Hume ini lebih manyangkut ketidakmungkinan untuk mengetahui mukjizat daripada ketidakmungkinan terjadinya mukjizat.

Namun di sisi lain, menurut pandangan beberapa teolog yang bebeda, kitab suci tidak tahu apa-apa mengenai alam, apalagi hukum alam. Hukum alam adalah konsep ilmiah modern. Martin Harun misalnya yang mengutip pandangan John P. Meier, (A Marginal Jew), mengatakan bahwa ide yang muncul tentang mukjizat bertentangan dengan hukum-hukum alam kurang berguna untuk memahami kisah-kisah mukjizat dalam Alkitab, sebab menurutnya, gagasan alam – apalagi alam yang berjalan menurut hukum-hukum imanen – sama sekali absen dalam Alkitab Ibrani. Kata “alam” (Phusis) baru mulai muncul dalam kitab-kitab Deuterokanonika atau Apokrifa dalam Perjanjian Baru, dan di situ pun tetap dimengerti dalam terang Perjanjian Lama, yakni sebagai dunia ciptaan yang teratur oleh firman dan hikmat Allah, dan bukan oleh hukum-hukum yang tidak dapat dilanggar. Lagi pula, dewasa ini, banyak ahli ilmu pengetahuan yang dahulunya anti dengan mukjizat, kini mengatakan bahwa yang dipercaya sebagai mukjizat tidak dapat dikesampingkan secara a priori. Bagi mereka, ada jauh lebih banyak hal dari dunia kita yang penuh rahasia ini daripada yang kita tangkap. Martin Harun memberikan contoh, misalnya dari biro medis di Lourdes atau dari International Medical Committee di Paris, tentang kasus-kasus penyakit fisik serius yang secara mendadak disembuhkan tanpa dapat dijelaskan secara medis. Laporan-laporan ilmiah itu tidak akan menyimpulkan bahwa terjadi mukjizat, tetapi diserahkan kepada umat beriman atau instansi keagamaan untuk menarik kesimpulannya.


Mukjizat juga sering terlihat dari berbagai asumsi teologis yang mengatakan bahwa dunia ini penuh dengan mujizat bagi orang-orang yang mempunyai mata untuk melihat. Dengan perkataan lain, semua tindakan-tindakan Allah tertentu yang membuat kita heran, terkejut, kagum dan terpesona adalah mujizat. Dalam hal ini, mukjizat (miracle) sama dengan pemeliharaan Allah (providence). Misalnya, bangun pagi, mendapat nilai A waktu kuliah, mendapat pekerjaan, selamat dari kecelakaan maut, sembuh dari sakit dll, adalah mujizat. Namun demikian ada asumsi lain yang mengatakan bahwa campur tangan Tuhan dalam pemeliharaan umat-Nya di setiap peristiwa kehidupan bukanlah mukjizat (miracle) melainkan pemeliharaan Allah (providence) yang meliputi kemurahan hati Tuhan (mercy). Orang-orang Kristen yang tidak membedakan antara mercy dengan miracle menjadikan kata mujizat menjadi sia-sia karena sering dipakai dalam konteks yang salah dan terlalu luas. Kebenarannya adalah mukjizat bukanlah peristiwa-peristiwa biasa.


Dewasa ini, berkembang pula asumsi teologis yang mengatakan bahwa, kisah-sisah mukjizat yang ada di dalam Alkitab dimengerti sebagai cerita-cerita yang sepenuhnya disusun oleh jemaat perdana berdasarkan cerita-cerita serupa yang beredar tentang pembuat mukjizat di dunia Yahudi dan Yunani-Romawi pada abad-abad itu. Dengan perkataan lain, mukjizat yang diceritakan di dalam Alkitab tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta sejarah. Alasanya adalah, mukjizat muncul dalam kisah Yesus yang tercatat, pertama kali pada dasawarsa kedelapan dalam Injil Markus dan kemudian pada dasawarsa kesembilan dan kesepuluh dalam Injil-injil lain. Dengan demikian, mukjizat-mukjizat tampak sebagai sebuah sumbangan dari kurun waktu itu, antara tahun 70 sampai 100 M ketika Injil-injil ditulis. Kisah- kisah ini justru adalah usaha para murid Yesus untuk mengatakan bahwa Allah yang sama yang telah menciptakan dunia ini, yang mengendalikan unsur-unsur air dan angin, yang memberi makan nenek moyang mereka di padang belantara dengan makanan dari langit dan meluputkan mereka dari kematian di Laut Merah, telah dijumpai dengan suatu cara yang sepenuhnya baru dalam kehidupan insani Yesus dari Nazaret.


Lepas dari berbagai asumsi teologis di atas, perlu disadari bahwa di dalam Alkitab, cerita-cerita mukjizat itu sering terjadi di sekitar peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh tertentu saja. Umpamanya dalam kaitan dengan keluaran dari Mesir, kehidupan Elia dan Elisa, pelayanan Yesus, dan pekerjaan para rasul dalam kitab Para rasul. Sebaliknya dalam kitab para Nabi, Kitab kebijaksanaan dan surat-surat Paulus hampir tidak kita jumpai adanya mujizat. Kita juga melihat bahwa di dalam Alkitab, mujizat itu bisa dibuat oleh orang yang baik dan yang jahat, misalnya dalam cerita keluaran dari Mesir cukup banyak mujizat yang dilakukan oleh para ahli sihir Mesir melawan mujizat yang dibuat oleh Musa.


Perlu juga diingat bahwa para penulis Alkitab mengunakan peristiwa mujizat, karena pada waktu itu, kisah-kisah mukjizat jauh lebih manarik daripada khotbah, kata-kata bijak, atau gagasan-gagasan keagamaan yang baru atau asli. Kisah-kisah itu dapat terus-menerus diceritakan di sekitar api ungun pada waktu malam hari, dan dengan beberapa tambahan kisah-kisah ini akan selalu menarik dan membuat pendengar kagum. Di samping itu, kisah-kisah mukjizat adalah sarana yang mudah dan baik untuk meyakinkan para pembacanya. Hal ini dikarenakan bahasa mujizat dapat dimengerti dan ditangkap oleh semua orang pada waktu itu.


Hal lain yang perlu kita ketahui adalah, di mana para penulis Alkitab mengunakan cerita mujizat itu dalam kaitannya dengan pemberitaan yang mereka lakukan. Mereka lebih menonjolkan makna mujizat itu. Dengan perkataan lain, sebagai kisah teologis yang tujuannya menyampaikan kebenaran-kebenaran lain yang berada dalam tatanan nilai-nilai, misalnya untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral tentang hal yang baik dan hal yang jahat, hal yang benar dan hal yang salah, dan seterusnya, atau untuk menimbulkan efek dan respons pada emosi dan perilaku manusia terhadap sesuatu atau terhadap suatu figur insani tertentu yang menjadi objek-objek devosional/penyembahan keagamaan.


Pada masa kini, bahasa adikodrati abad pertama tidak saja membutakan mata kita terhadap makna Yesus, tetapi sebenarnya juga membuat gambar Yesus bagi kita tersimpang. Hal yang bukan prinsip menjadi prinsip. Yang dicari adalah Yesus yang berjalan di atas air, Yesus yang menyembuhkan orang sakit, Yesus yang memberi makan lima ribu orang, Yesus yang membangkitkan orang mati dan sebagainya. Padahal, yang menjadi pesan penulis Alkitab bukanlah pada mukjizat, tetapi kisah teologis mukjizat itu sendiri. Kisah teologis tersebut, digunakan oleh para penulis Alkitab untuk menjawab pergumulan umat dalam koteksnya masing-masing saat itu. Maka dalam konteks kita saat ini, sangat naif bila kita memaksakan apa yang bukan menjadi permasalahan atau pun pergumulan konteks kita. Pemaksaan-pemaksaan seperti inilah yang pada akhirnya menimbulkan berbagai kontroversi tentang mukjizat.


Sisi lain dari mukjizat, di mana kalau pada waktu dulu para penulis Alkitab mengunakan cerita-cerita mukjizat untuk menyampaikan kabar baik kepada setiap umat dalam konteksnya, itu mungkin karena cerita-cerita mukjizat tersebut sangat relevan dan efektif. Dalam konteks kita dewasa ini, mungkin mukjizat tidak relevan lagi untuk menjawab setiap persoalan dan pergumulan kita, tetapi Allah berbicara kepada kita dengan cara yang baru. Ia berbicara kepada kita dalam peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi jaman ini. Yesus dapat membantu kita mengerti suara Kebenaran. Akan tetapi akhirnya kitalah yang harus memutuskan dan bertindak.

Jumat, 25 Juni 2010

SISI LAIN DARI AGAMA


Salah satu krisis dunia yang paling mengancam sekarang ini adalah berkenaan dengan pengertian kita tentang apa itu hidup manusia dan hubungan antar sesama manusia. Tanpa pengertian yang benar tentang kedua hal tersebut, maka tidak mungkin terciptanya suatu saling percaya dan saling kerja sama yang baik antar manusia, bahkan nilai-nilai kemanusiaan pun akan terkikis dan terabaikan. Inilah sisi lain dari agama.

Fakta memperlihatkan bahwa eksistensi agama selama ini kurang ramah dengan kehidupan duniawi. Dalam sejarah umat manusia selalu dipenuhi dengan kebencian dan kekerasan. Perang antar bangsa, terorisme, pengunaan senjata kimia, dan juga pemusnahan sesama umat manusia dengan megatasnamakan agama, telah mewarnai sejarah manusia, bahkan di dalamnya termasuk pelangaran HAM dalam beragama dan dalam merefleksikan pengajaran agamanya, karena dianggap sesat, bidat serta meresahkan masyarakat. Problema kepercayaan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan dialog yang terhormat, tetapi diubah menjadi tidakan-tidakan anarkis; dengan membakar, membongkar, main hakim sendiri, merajam dan sebaginya. Agama dipahami dan disempitkan dalam politisasi kepentingan masing-masing agama, suku dan golongan, maka di sana yang terjadi bukanlah kerukunan. Dalam hal ini benarlah apa yang dikritisi oleh Marx, Freud maupun Nietzche, terhadap agama. Bagi Marx, agama adalah peninabobo masyarakat, candu yang membius hingga menghalangi proses transformasi masyarakat secara sosial, ekonomis, lantaran melarikannya ke dunia impian, searah diri pada nasib dan kepasrahan ilusif. Bagi Freud dan Nietzche, agama merupakan pelarian dan kewajiban menghadapi tantangan hidup nyata menuju ke dunia ilusi.

Agama juga dipahami tidak lebih dari usaha mencari ketenangan jiwa secara pribadi sebagai obat penyembuh penyakit, ketidakmampuan untuk menghadapi kerumitan hidup yang semakin mencekam. Sifat keagamaan seperti ini, merupakan ciri insan beragama yang tidak mempunyai kesadaran tentang tanggung jawab sosial, yang menjurus pada sikap ekslusivime dan fanatisme yang terselubung. Keyakinan agama yang dianut tidak berpengaruh terhadap sikap hidup sosial bagi hidup bersama dan sangat dekat dengan kejahatan, baik secara fasif maupun secara aktif (kekerasan atas nama agama).

Dengan ini, sisi lain agama dalam kehidupan manusia adalah menentukan, karena agama itu adalah mata air kehidupan tempat manusia menemukan makna kehidupan yang terdalam, yang dapat menjadi landasan yang kokoh untuk pembentukan nilai, harkat dan martabat manusia. Agama berperan sebagai petunjuk rohani untuk mengatasi keterasingan dan dan kegersangan batiniah. Dengan demikian, agama menjadi sebuah komitmen terdalam bagi manusia untuk mencapai harmoni dan perdamaian bagi manusia pada masa kini dan masa yang akan datang. Maka sudah seharusnyalah kita melihat dan mengerti maksud setiap ajaran-ajaran atau dogma dan dokrin agama, di mana ajaran agama itu diberikan Allah bukan untuk maksud pembenaran diri atau kelompok yang bermuara pada sikap fanatisme agama. Ajaran setiap agama itu diberikan agar manusia dapat mengelola hidupnya secara lebih baik, terciptanya keadilan, kesejahteraan dan kebaikan bagi semua orang sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, walaupun mereka berlainan agama dan kepercayaan, suku dan asal-usul. Warisan agama seharusnya diterima dan dihayati untuk berbelas-kasih terhadap semua manusia dan makhluk hidup lainnya.

Prof. Dr. F.X. Mudji Sutrisno, SJ., mendefinisikan agama sebagai ekspresi atau wujud sosial dari keimanan (sikap percaya dan mengimani wahyu Tuhan yang memberi jalan kebahagiaan dan mau dihayati sebagai petunjuk-petunjuk-Nya serta mau ditaati manusia). Keimanan itu sering disebut juga sebagai religiositas: kesadaran religius untuk menghayati hidup menurut wahyu (sabda) Tuhan.

Di masa depan, ada dua fungsi agama yang mesti ditonjolkan, yaitu fungsi kritis-profetis dan fungsi pembebasan. Fungsi kritis profetis hendak mengkritik keyakinan lama dan menyadarkan nilai-nilai yang dilupakan, terutama hormat dan martabat kemanusiaan. Lalu, keberanian untuk melakukan otokritik, misalnya terhadap gejala agama yang terlalu formalis. Sementara fungsi agama sebagai pembebasan mengarah kepada semakin dihormatinya martabat manusia. Ini berarti agama berperan membuat orang lebih mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dalam kultur modern yang mekanistik.

Konsekuensinya: Gagal melihat agama dari sisi yang lain, maka peran agama akan semakin kurang diminati manusia modern yang merasa nyaman oleh jaminan kehidupan sekuler. Apalagi kalau agama gagal mewujudkan perdamaian dunia, eksistensi agama tidak punya arti lagi. Tujuan agama sebagai penghubung dengan Tuhan yang Maha Pengasih demi hidup damai sejahtera akan semakin kabur, sebab bagaimana mungkin agama masih mengajarkan kehidupan yang penuh damai dan persaudaraan di surga, bila agama tidak bisa mengurus kehidupan bersama di dunia ini? Begitu agama menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, agama tidak berfungsi lagi sebagai usaha untuk mendekatkan manusia pada Tuhan.

Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh Mudji Sutrisno, tentang bentuk-bentuk penghayatan agama yang sejati:
a.Sikap beriman (keimanan)/religiositas yang mendalam.
b.Perbuatan kasih dan solider dengan sesama yang malang dan miskin.
c.Saling membagi pengalaman disapa Tuhan dalam “syering pengalaman Kitab Suci” atau syering kesaksian hidup di tengah masyarakat (syering tersebut dapat meneguhkan komitmen kita dan sesama).
d.Setiap agama, melangsungkan keimanan itu lewat ajaran-ajarannya yang menyangkut etika hidup (seperti perkauman, etika bisnis, etika kedokteran), pedoman mengenai ajaran sosial menyangkut keadilan dan hidup sosial politis di masyarakat.
Oleh karena itu, sisi lain dari agama perlu dihadirkan kembali sebagai mobilisator etik, spiritual, dan moral, pemberi orientasi, komunikator dan sekaligus evaluator bagi perkembangan kehidupan masyarakat di dunia modern.

Kepustakaan:

Sutrisno, Mudji, Prof. Dr. F.X., Ide-Ide Pencerahan, Jakarta: OBOR, 2004.

Tanja, Victor, Pdt., M.Th., Ph.D., Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: PT BPK Gunug Mulia, 1994.

Tindage, Ruddy dan Hutabarat, Rainy MP., Teologi, Komunikasi dan Rekonsiliasi, Jakarta: Yakoma-PGI/Badan Usaha Milik Gereja, Gereja Masehi Injili di Halmahera, 2009.

Rabu, 02 Juni 2010

Dogma Adalah Monster Yang Menakutkan?



Ketika mendengar kata dogma, banyak dahi para teolog dan mahasiswa teologia akan mengkerut. Dogma telah menjadi sesuatu yang menakutkan. Dogma dianggap sebagai biang kerok pertengkaran. Maka tidak mengherankan, banyak teolog dan mahasiswa teologia yang “anti” dogma.

Kembali, kalau kita melihat istilah Dogma, istilah Yunani berarti “opini” atau “dekrit”, dari dogma (tampak benar, suatu pendapat, pikiran); dokeo (seolah-olah tampak). Dengan beberapa pengertian:

1.Suatu ajaran (doktrin, keyakinan, ideologi, pendapat) yang telah diumumkan secara resmi dan otorotatif entah oleh seorang pemimpin atau pun oleh suatu lembaga (gereja).
2.Apa yang harus dipikirkan oleh seseorang yang menerima otoritas itu tentang suatu hal khusus.
3.Dalam bentuk hakikinya, istilah ini digunakan secara filosofis.

Dilihat dari istilah di atas dan beberapa pengertian tersebut, sebenarnya istilah dogma itu luas dan kaya akan makna. Akan tetapi anehnya sangat minim sekali pemikiran yang mau melihat kedalaman makna kata tersebut. Orang cenderung berpikir instan dan relatif. Definisi dogma yang telah dibuat puluhan tahun silam, sekan-akan statis adanya.

Sebagai bagian dari disiplin ilmu teologi, kadangkala dogmatika kurang diberi perhatian oleh para teolog dan mahasiswa tertentu. Alasan mereka cukup sederhana; dogmatika atau dogmatik dapat berarti tidak kritis, bersifat apodiktik, konkulsif dan sebagainya. Ekstrimnya dikatakan : “Dogma membuat orang bertengkar”! Maka dari pada itu, apabila pemahaman terhadap dogma sudah sedemikian rupa, dogma akan menjadi batu sandungan bagi disiplin ilmu teologi lainnya.

Bila kita kaji lebih jauh lagi, seharusnya dogma itu bukanlah sesuatu yang menakutkan dan untuk dimusuhi. Dogma itu berkembang (bersifat dinamis), ia berkembang bersama-sama dengan disiplin ilmu teologi yang lain. Sebab memang sudah sepatutnya, bila biblika, historika, dan sebagainya itu berkembang, dogma juga berkembang. Akan tetapi seringkali kepincangan itu terasa sekali, bahkan dibuat-buat, seolah-oleh hanya salah satu di antaranya yang paling tepat, hebat dan logis, bahkan ilmiah. Tapi tunggu dulu!!

Coba dipikirkan baik-baik dan dalam-dalam! Berapa banyak penemuan-penemuan baru (secara khusus tulisan-tulisan ilmiah ) dalam bidang biblika, historika dan yang lainya, yang tersalurkan secara langsung ke dalam kehidupan gereja atau jemaat awam? Bukankah kalau kita mau jujur, penemuan-penemuan itu hanya sebatas “teori” saja! Ekstrimnya bisa dikatakan bahwa “hanya permainan kata belaka”! Dan celakanya lagi, hanya sampai di universitas-universitas teologi tetentu saja! Ada apa di balik semua itu? Orang Percaya berkata : “Hanya Tuhanlah Yang Tahu”!

Hemat saya, dogma itu tidak akan pernah membuat orang bertengkar, apabila penemuan-penemuan biblika, historika dan sebagainya itu tidak dipendam hanya di dalam “Tulisan-tulisan ilmiah” saja yang akhirnya menjadi pajangan sesaat, tetapi harus direalisasikan secara konkrit dalam kehidupan gereja. Bagaimana mungkin dogma dapat “dijadikan saudara” apabila ia tidak diisi dan dibaharui terus-menerus dengan penemuan-penemuan baru itu!

Definisi tentang dogma, harus juga bersifat dinamis. Sebab apabila orang hanya puas dengan definisi-definisi tentang dogma yang telah dibakukan itu, maka dogma itu menjadi sempit, kecil, kerdil dan menakutkan!

Tidak bermaksud membela dogma, tetapi mencoba melihat dogma itu dari sisi yang berbeda!

Minggu, 02 Mei 2010

Dogmatika Kristen Bersifat Statis?


Dogma Kristen bersifat statis? Pertanyaan ini bisa dijawab tidak dan juga ya. Dikatakan tidak, karena di dalam kenyataannya ada sejarah dogma. Dikatakan ya, karena sulitnya “dogma masa kini” menembus tembok-tembok kebekuan yang telah membatu – tradisi dan pengajaran gereja.

Sulit untuk menunjuk atau mengklaim dogma mana yang dikatakan statis, sebab kebanyakan gereja “telah menganut” faham dualisme (golongan Liberal atau golongan fundamental).
Ketika teolog-teolog tertentu mencoba mengkaji dan menggali dogma Kristen yang telah “dibakukan” berabad-abad, dan ternyata juga mendapatkan hasil yang “ berbeda” dengan dogma yang telah dipegang oleh gereja-gereja selama ini, bahkan bertolak belakang, teolog-teolog tersebut dikategorikan sebagai golongan liberal. Maka dengan demikian, benarlah bahwa dogma Kristen itu statis adanya.

Perkembangan teologi telah “dikerdilkan” oleh tradisi dan pengajaran gereja. Betapa tidak, seperti hal di atas tadi, disiplin ilmu teologi seperti biblika, etika, sistematika, praktika dan sebagainya, sekan-akan tidak memiliki dampak apa-apa bagi dogma Kristen. Kalaupun ada, kebanyakannya hanya digunakan sebagai alat untuk “membatukan” (memperkuat tradisi dan doktrin ) dogma gereja yang telah berakar kuat sejak dahulu kala.

Ketika ada teolog-teolog yang berani “membongkar” dogma gereja, gereja kemudian bereaksi dengan mencap liberal, sesat, mengucilkan dan memberhentikannya atas jebatan-jabatan gereja tertentu. Aneh memang kelihatannya? Gereja seakan-akan telah memiliki “satu-satunya kebenaran mutlak” di dunia ini.

Memang benar bahwa gereja harus tetap memelihara pengajaran yang sehat dan benar, yang sesuai dengan iman Kristen. Akan tetapi istilah pengajaran yang sehat, benar, dan sesuai dengan iman Kristen perlu untuk didefinisikan lagi, sehingga gereja tidak terjebak dalam definisi-definisi yang telah berabad-abad dibekukan itu.
Gereja telah merasa cukup puas dan aman ketika berada di dalam definisi-definisi yang telah dibuat berabad-abad, padahal definisi yang telah dibekukan itu akan membuat dogma gereja menjadi kecil, kerdil, eksklusif dan “fundamental.” Dalam hal ini bukan berarti nilai-nilai pengajaran dan tradisi gereja yang dibekukan itu tidak ada makna substansinya bagi kehidupan gereja masa kini, tetapi hal ini bermaksud mengajak gereja untuk mencoba keluar dari zona aman dan nyamanya tersebut.

Akhirnya, dogma gereja akan selalu bersifat statis, bila gereja tidak mau “mencairkan” diri dalam perkembangan disiplin-disiplin ilmu teologi. Akan selalu bersifat statis, apabila gereja selalu hidup dalam paham dulisme. Dinamisnya dogma jangang diukur dari faham liberal dan fundamental, tetapi “Iman yang Mencari Pengertian.”

Kamis, 08 April 2010

Patriakhal: Mendiskriminasi Perempuan? (Ditinjau dari sudut pandang Perjanjian Lama)



Oleh: Devi Siskawati
(Teman Tingkat, Semester VIII Mahasiswa STTC)



Banyak pandangan atau pendapat yang mengatakan bahwa dalam Perjanjian Lama kedudukan seorang perempuan tidak dianggap penting. Perempuan selalu tidak diperhitungkan keberadaannya. Kedudukan lelaki adalah superior sedangkan perempuan adalah inferior. Hal ini karena pengaruh budaya patriakhal yang dianut oleh bangsa Israel. Budaya patriakhal ini dianut dari bangsa-bangsa di sekitar Israel. Tetapi, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: apakah benar budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama dan masyarakat Yahudi mendiskriminasi kaum perempuan? Apakah Perjanjian Lama mengabaikan perempuan? Dalam tulisan ini, penulis hendak mengajak kita untuk membuka pikiran kita supaya kita tidak berpandangan naïf terhadap kedudukan perempuan dalam Perjanjian Lama, khususnya menyangkut budaya patriakhal yang menurut pandangan banyak orang mendiskriminasi kaum perempuan. Dalam tulisan ini, penulis juga akan meneliti kebudayaan patriakhal dari bangsa-bangsa di sekitar Israel dan bangsa Israel. Penulis meneliti kebudayaan di luar Israel karena kebudayaan patriakhal yang ada di Israel merupakan hasil adopsi dari bangsa-bangsa di sekitar Israel.

Budaya Patriakhal dalam Kebudayaan Bangsa-bangsa di Luar Israel.

Mesir
Kata bapa digunakan secara figuratif untuk menggambarkan hal-hal seperti ‘I was father to the child’ dan dia adalah ‘a father to orphans, a husband to widows’. Seorang pejabat harus menjadi “bapa yang baik bagi masyarakat yang dipimpinnya”. Dengan kata lain, makna bapa dalam kebudayaan Mesir adalah sebagai pemelihara atau penjaga anak-anaknya.

Mesopotamia
Sistem kekeluargaan Mesopotamia bersifat patriakal. Bahasa Akkad menggunakan kata abu (m) untuk kata bapa. Merupakan sebuah tanggung jawab ayah untuk menjadi penopang dan pelindung bagi keluarganya. Kita dapat melihat berbagai gambaran mengenai ayah yang baik di dalam pandangan orang-orang Mesopotamia. Sebagai contoh: “seorang raja sebagai pemimpin bangsa harus memperlakukan hambanya sama seperti seorang ayah memperlakukan anaknya”. Ini memberi gambaran kepada kita bahwa seorang ayah pasti melindungi anaknya.

Agama Semit Barat
Makna bapa adalah sebagai pelindung yang melindungi keluarganya.

Budaya Patriakhal dalam Kebudayaan Israel
Bentuk kemasyarakatan yang digambarkan oleh Alkitab tentang sistem politik Israel adalah sebuah sistem kekeluargaan. Sistem kekeluargaan ini dipelihara dalam bentuk silsilah. Silsilah ini tidak hanya menggambarkan hubungan darah, tetapi juga hubungan ekonomi, status sosial, dan kekuasaan yang mana dapat terlihat di dalam komunitas. Seorang ayah berfungsi untuk melindungi negerinya dan keluarganya. Seorang ayah dalam kebudayaan Israel memiliki kekuasaan untuk: mengadopsi putera atau puteri (seorang anak diakui sebagai anggota suatu kelompok/klan apabila ketika dia lahir, pemimpin klan itu menerimanya, apabila tidak, maka bidan yang membantu proses persalinan mengambilnya dan meletakkannya di tempat terbuka dan mengumumkan bahwa anak ini dapat diadopsi oleh kelompok/klan yang lain), menerima pekerja-pekerja, bernegosiasi mengenai pernikahan dan menentukan ahli waris. Selain itu, seorang ayah juga bertanggung jawab untuk mengatur anak-anaknya dan mengajarkannya tentang kasih Allah (Ul.6:7). Dalam kebudayaann Israel, ayah memiliki peranan yang sangat penting. Ayah adalah kepala rumah tangga, anak-anaknya hormat terhadap dia (Mal.1:6). Dia mengontrol anggota keluarganya yang lain seperti pengrajin mengontrol tanah liatnya (Yes.64:7). Ketika seseorang dipanggil dengan sebutan ayah, sebenarnya hendak menunjukkan otoritasnya. Misalnya saja: Naaman dipanggil dengan sebutan bapa/ayah oleh para hambanya (2 Raj.5:13), Elia dipanggil bapa oleh murid-muridnya (2 Raj 2:12). Para imam dipanggil sebagai bapa oleh komunitas kultus (Hak.18:9).


Dari tulisan ini saya mau mengajak kita untuk melihat sisi positif dari budaya patriakhal itu sendiri. Budaya patriakhal merupakan sarana kasih Allah kepada umat Israel. Kita melihat dari segi tanggung jawab para lelaki yang terdapat dalam Alkitab. Seorang lelaki atau seorang bapa memiliki tanggung jawab yang besar untuk kaum atau klannya. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa dalam kebudayaan Israel maupun kebudayaan di luar Israel tidak ada maksud untuk mendiskriminasi perempuan. Misalnya saja dalam kebudayaan Mesopotamia: seorang ayah haruslah dapat menjadi penopang dan pelindung bagi keluarganya. Jadi, di mana letak kesalahannya? Yang salah adalah kita yang memiliki pemikiran naïf terhadap budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama. Sekali lagi saya hendak menegaskan bahwa budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama tidak mendiskriminasi keberanaan kaum perempuan. Saya tidak menentang kaum feminis, tetapi janganlah kita mendramatisir apa yang dirasakan oleh kkaum perempuan pada waktu itu. Kita dapat melihat dalam Perjanjian Lama, tidak ada perempuan yang komplain akan keberadaannya sebagai perempuan. Hal ini karena kaum lelaki memang melindungi kaum perempuan. Perempuan sangat diperhatikan dalam Perjanjian Lama. Kita dapat melihat bahwa seorang janda pun diperhatikan oleh masyarakat. Buktinya, dapat kita lihat dalam tahunYobel. Selain itu kita juga dapat melihat dalam perkawinan ipar (go’el). Seorang wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya akan dikawinkan dengan iparnya. Kita dapat melihat dalam kasus Rut dan Boas. Perempuan yang telah ditinggal mati oleh suaminya dapat menikah lagi dengan saudara laki-laki dari suaminya. Hal ini bertujuan untuk melindungi perempuan tersebut. Kaum lelaki dan perempuan adalah sama, sama-sama penting dan sama-sama saling membutuhkan. Marilah kita sama-sama saling mengisi dan jangan kita menganggap lebih superior dari yang lainnya.