Jumat, 25 Juni 2010

SISI LAIN DARI AGAMA


Salah satu krisis dunia yang paling mengancam sekarang ini adalah berkenaan dengan pengertian kita tentang apa itu hidup manusia dan hubungan antar sesama manusia. Tanpa pengertian yang benar tentang kedua hal tersebut, maka tidak mungkin terciptanya suatu saling percaya dan saling kerja sama yang baik antar manusia, bahkan nilai-nilai kemanusiaan pun akan terkikis dan terabaikan. Inilah sisi lain dari agama.

Fakta memperlihatkan bahwa eksistensi agama selama ini kurang ramah dengan kehidupan duniawi. Dalam sejarah umat manusia selalu dipenuhi dengan kebencian dan kekerasan. Perang antar bangsa, terorisme, pengunaan senjata kimia, dan juga pemusnahan sesama umat manusia dengan megatasnamakan agama, telah mewarnai sejarah manusia, bahkan di dalamnya termasuk pelangaran HAM dalam beragama dan dalam merefleksikan pengajaran agamanya, karena dianggap sesat, bidat serta meresahkan masyarakat. Problema kepercayaan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan dialog yang terhormat, tetapi diubah menjadi tidakan-tidakan anarkis; dengan membakar, membongkar, main hakim sendiri, merajam dan sebaginya. Agama dipahami dan disempitkan dalam politisasi kepentingan masing-masing agama, suku dan golongan, maka di sana yang terjadi bukanlah kerukunan. Dalam hal ini benarlah apa yang dikritisi oleh Marx, Freud maupun Nietzche, terhadap agama. Bagi Marx, agama adalah peninabobo masyarakat, candu yang membius hingga menghalangi proses transformasi masyarakat secara sosial, ekonomis, lantaran melarikannya ke dunia impian, searah diri pada nasib dan kepasrahan ilusif. Bagi Freud dan Nietzche, agama merupakan pelarian dan kewajiban menghadapi tantangan hidup nyata menuju ke dunia ilusi.

Agama juga dipahami tidak lebih dari usaha mencari ketenangan jiwa secara pribadi sebagai obat penyembuh penyakit, ketidakmampuan untuk menghadapi kerumitan hidup yang semakin mencekam. Sifat keagamaan seperti ini, merupakan ciri insan beragama yang tidak mempunyai kesadaran tentang tanggung jawab sosial, yang menjurus pada sikap ekslusivime dan fanatisme yang terselubung. Keyakinan agama yang dianut tidak berpengaruh terhadap sikap hidup sosial bagi hidup bersama dan sangat dekat dengan kejahatan, baik secara fasif maupun secara aktif (kekerasan atas nama agama).

Dengan ini, sisi lain agama dalam kehidupan manusia adalah menentukan, karena agama itu adalah mata air kehidupan tempat manusia menemukan makna kehidupan yang terdalam, yang dapat menjadi landasan yang kokoh untuk pembentukan nilai, harkat dan martabat manusia. Agama berperan sebagai petunjuk rohani untuk mengatasi keterasingan dan dan kegersangan batiniah. Dengan demikian, agama menjadi sebuah komitmen terdalam bagi manusia untuk mencapai harmoni dan perdamaian bagi manusia pada masa kini dan masa yang akan datang. Maka sudah seharusnyalah kita melihat dan mengerti maksud setiap ajaran-ajaran atau dogma dan dokrin agama, di mana ajaran agama itu diberikan Allah bukan untuk maksud pembenaran diri atau kelompok yang bermuara pada sikap fanatisme agama. Ajaran setiap agama itu diberikan agar manusia dapat mengelola hidupnya secara lebih baik, terciptanya keadilan, kesejahteraan dan kebaikan bagi semua orang sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, walaupun mereka berlainan agama dan kepercayaan, suku dan asal-usul. Warisan agama seharusnya diterima dan dihayati untuk berbelas-kasih terhadap semua manusia dan makhluk hidup lainnya.

Prof. Dr. F.X. Mudji Sutrisno, SJ., mendefinisikan agama sebagai ekspresi atau wujud sosial dari keimanan (sikap percaya dan mengimani wahyu Tuhan yang memberi jalan kebahagiaan dan mau dihayati sebagai petunjuk-petunjuk-Nya serta mau ditaati manusia). Keimanan itu sering disebut juga sebagai religiositas: kesadaran religius untuk menghayati hidup menurut wahyu (sabda) Tuhan.

Di masa depan, ada dua fungsi agama yang mesti ditonjolkan, yaitu fungsi kritis-profetis dan fungsi pembebasan. Fungsi kritis profetis hendak mengkritik keyakinan lama dan menyadarkan nilai-nilai yang dilupakan, terutama hormat dan martabat kemanusiaan. Lalu, keberanian untuk melakukan otokritik, misalnya terhadap gejala agama yang terlalu formalis. Sementara fungsi agama sebagai pembebasan mengarah kepada semakin dihormatinya martabat manusia. Ini berarti agama berperan membuat orang lebih mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dalam kultur modern yang mekanistik.

Konsekuensinya: Gagal melihat agama dari sisi yang lain, maka peran agama akan semakin kurang diminati manusia modern yang merasa nyaman oleh jaminan kehidupan sekuler. Apalagi kalau agama gagal mewujudkan perdamaian dunia, eksistensi agama tidak punya arti lagi. Tujuan agama sebagai penghubung dengan Tuhan yang Maha Pengasih demi hidup damai sejahtera akan semakin kabur, sebab bagaimana mungkin agama masih mengajarkan kehidupan yang penuh damai dan persaudaraan di surga, bila agama tidak bisa mengurus kehidupan bersama di dunia ini? Begitu agama menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, agama tidak berfungsi lagi sebagai usaha untuk mendekatkan manusia pada Tuhan.

Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh Mudji Sutrisno, tentang bentuk-bentuk penghayatan agama yang sejati:
a.Sikap beriman (keimanan)/religiositas yang mendalam.
b.Perbuatan kasih dan solider dengan sesama yang malang dan miskin.
c.Saling membagi pengalaman disapa Tuhan dalam “syering pengalaman Kitab Suci” atau syering kesaksian hidup di tengah masyarakat (syering tersebut dapat meneguhkan komitmen kita dan sesama).
d.Setiap agama, melangsungkan keimanan itu lewat ajaran-ajarannya yang menyangkut etika hidup (seperti perkauman, etika bisnis, etika kedokteran), pedoman mengenai ajaran sosial menyangkut keadilan dan hidup sosial politis di masyarakat.
Oleh karena itu, sisi lain dari agama perlu dihadirkan kembali sebagai mobilisator etik, spiritual, dan moral, pemberi orientasi, komunikator dan sekaligus evaluator bagi perkembangan kehidupan masyarakat di dunia modern.

Kepustakaan:

Sutrisno, Mudji, Prof. Dr. F.X., Ide-Ide Pencerahan, Jakarta: OBOR, 2004.

Tanja, Victor, Pdt., M.Th., Ph.D., Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: PT BPK Gunug Mulia, 1994.

Tindage, Ruddy dan Hutabarat, Rainy MP., Teologi, Komunikasi dan Rekonsiliasi, Jakarta: Yakoma-PGI/Badan Usaha Milik Gereja, Gereja Masehi Injili di Halmahera, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar