Selasa, 19 Mei 2009

Gawai Dayak Ditinjau Dari Perspektif Teologis

Prosesi penyembelihan babi pada upacara dange (photo: Eko Suryanto Daulay, Rumah Betang, Pontianak, 2009)
Kegiatan ini bertujuan untuk memberitahukan pada semua orang dan makhluk hidup di darat, sungai dan udara, bahwa dange akan segera dimulai. Setelah dua rentetan ritual ini usai, barulah orang-orang mendirikan lepo dange. Kemudian Mawaang Alaan Uting yakni masyarakat Dayak membersihkan jalan roh atau jiwa uting (babi piara) yang dipimpin oleh Dayung aya’, ritual bertujuan memberitahukan pada semua orang, terkhusus pada leluhur Kayaan bahwa uting akan menjadi kurban dan prosesi penyembelihan uting atau babi itu sendiri dilakukan di lepo dange.(eko suryanto daulay/25/05/09)


Edi P. labang

Pendahuluan
Dalam tulisan ini, mencoba memaparkan secara sederhana dan bersikap kritis terhadap perayaan adat (Gawai Dayak), yang telah dirasa menjadi salah satu ”penghambat” pertumbuhan iman Kristiani masyarakat Dayak. Tidak bermaksud meniadakan perayaan adat tersebut, atau terlalu beranggapan negatif, tetapi mencoba mengajak untuk melihat secara nyata apa sebenarnya perayaan tersebut dan bagaimana dampaknya bagi Masyarakat Dayak secara luas.

Latar Belakang
Gawai Dayak merupakan suatu perayaan adat yang terdapat di Kalimatan Barat. Perayaan adat tersebut bisanya dilakukan pada bulan Mei
[1]. Gawai adalah bahasa Dayak yang artinya sama dengan Perayaan, Pesta , keramaian dll, sedangkan; Dayak merupakan nama suku yang ada di Kaliamantan Barat, yakni Suku Dayak[2]. Gawai Dayak disertai dengan perayaan, ritual-ritual khusus yang semuanya memiliki makna atau hikmah tersendiri bagi masyarakat Dayak. Sejak berpuluh-puluh tahun, bahkan sampai saat ini, masyarakat Dayak masih tetap memelihara parayaan tersebut. Gawai Dayak merupakan pesta ucapan syukur tahunan masyarakat Dayak, kepada ”Tuhannya” (Jubata, kepercayaan nenek moyang, atau kepada ilah-ilah lain, seperti Batu, kayu dan tanaman). Masyarakat Dayak mengucap syukur atas hasil panen yang telah diperolehnya selama musim tanam setahun, yang semua itu menurutnya adalah karena campur tangan ”Tuhannya” tersebut.
Perayaan adat tersebut biasanya berlangsung selama 1-7 hari, tergantung situasi daerah yang merayakannya. Dalam acara Gawai tersebut disertai pula dengan makanan dan minuman khas, seperti daging (Babi, Ayam, dll), Nasi Ruas (Beras Ketan yang dimasukkan ke dalam bambu khusus, kemudian dipanggang), Tuak, Arak, dan makanan-makanan ringan lainnya. Sebelum upacara perayaan dimulai, bisanya pagi-pagi benar diadakan ritual-ritual khusus yang dipimpin oleh ketua adat. Dalam ritual tersebut, disediakan sesajen untuk ”Tuhannya” (Jubata, kepercayaan nenek moyang, atau kepada ilah-ilah lain, seperti Batu, kayu dan tanaman). Sesajen tersebut dapat berupa kepala babi, nasi Ruas, tuak dll, yang dipersembahkan. Tujuannya adalah untuk meminta berkat, pertolongan, pengucapan syukur (semua yang dikehendaki), kepada ”Tuhannya” itu. Ritual-ritual tersebut biasanya diadakan di rumah adat Dayak, rumah pribadi, ataupun tempat-tempat khusus lainnya.
Perayaan tersebut pada dasarnya baik dan membangun kebersamaan, bahkan menjadi salah satu ciri khas orang Dayak. Akan tetapi kepada siapa perayaan tersebut ditujukan, bagaimana ritual-ritualnya, apa dampak perayaan tersebut bagi seluruh lapisan masyarakat Dayak (Baik Tua, Muda, Kecil dan Lansia), serta bagaimana pengaruhnya bagi Gereja dan iman Kristen, hal-hal inilah yang menjadi pertanyaan besar dan perlu pemikiran yang kritis.

Mengapa perayaan Gawai Dayak masih tetap dipelihara oleh masyarakat Dayak dari zaman dahulu hingga saat ini?
Faktor Kebudayaan
Gawai Dayak merupakan perayaan adat yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Dayak. Kebudayaan ini tanpa disadari telah masuk ke dalam hidup dan cara keberagamaan masyarakat Dayak. Kebudayaan yang mengangap bahwa sumber berkat dan kelimpahan hanya datang ”di luar” Tuhan Allah. Jubata, kepercayaan nenek moyang, ilah-ilah lain (Batu, kayu dan tanaman dll), telah menjadi begitu penting dan sangat dihormati. Warisan kebudayaan zaman dahulu seakan-akan sulit untuk ditinggalkan. Sejak zaman dahulu, tua-tua suku Dayak memiliki perhatian khusus dalam hal yang berhubungan dengan dunia pertanian. Anggota suku yang selalu mendapat banyak padi dalam berladang dianggap sampbadi (orang beriman, taat dan taqwa). Beriman bisa dalam pengertian kepada Tuhan Allah, juga kepada “Tuhannya”. Namun pengertian iman di sini lebih mengarah dan banyak kepada pengertian “Tuhannya”. Padi, adalah salah satu ciri terpenting dalam kehidupan sosial budaya suku bangsa Dayak. Upacara-upacara ritual sepanjang tahun pada dasarnya didasarkan pada siklus penanaman padi. Pada saat penanaman padi diadakan ritual dengan cara memberikan (dipercik atau dioelskan) darah binatang pada benih padi yang akan ditanam, ada juga yang membuat patung kayu kecil yang menyerupai manusia yang disembah. Pada saat pemeliharaan padi, biasanya sebagaian masyarakat Dayak memasang “penjaga ladang” (bukan manusia, tetapi buatan tangan yang dikeramatkan atau diangap sakti). Pada saat panen, terutama hari pertama akan memasuki masa-masa panen, biasanya diambil beberapa tangkai padi yang kemudian diberi ritual khusus dengan memercikkan darah binatang. Dan beberapa saat setelah panen, diadakanlah pesta Gawai Dayak.

Faktor Keagamaan
Menurut masyarakat Dayak, dunia dan segala isinya diciptakan oleh Yang Maha Tinggi. Untuk mengetahi konsep-konsep ketuhanan itu, menurut Scharer (1963), seseorang harus menelaah sumber-sumber. Sumber yang dimaksud Scharer adalah tradisi lisan. Ia mengambarkannya sebagai sacred literature (sastra suci). Dalam pada itu, tiap-tiap benda dan makhluk di bumi ini memiliki semangat (the living spirit). Dalam beberapa sub-suku, semangat itu disebut Jubata, atau Duata. Oleh karena itu, benda-benda baik yang hidup maupun yang mati tidak boleh diperlakukan tidak senonoh. Jika melakukannya, maka pelakunya akan mendapat balasan yang setimpal.
Peran agama dalam menjembatani Injil dan kebudayaan Dayak, “seakan-akan gagal”, karena (terutama Gereja) tidak bisa berbuat banyak bagi masyarakat Dayak, bahkan ada gereja-gereja tertentu yang “kompromi” dengan gaya pesta tersebut, termasuk pemimpin-peminpin umat ikut mabuk. Tidak salah gereja dekat dengan adat, hal itu harus, tetapi jangan sampai gereja atau para pemimpin gereja kebablasan.
Cara tersebut bukan kontekstualisasi, tetapi sinkritisme
[3]. Jangan heran bila umat tetap memegang erat tradisi minum mabuk, menyembah patung dll, dalam perayaan Gawai, bila gereja dan para pemimpinnya yang mencontohkan dan merestuinya.
Faktor Lingkungan
Pada dasarnya, masyarakat Dayak, bukanlah masyarakat yang suka berpesta-pora secara berlebih-lebihan
[4]. Perayaan keagamaan seperti Natal, Paskah dan Gawai merupakan perayaan-perayaan besar bagi Masyarakat Dayak. Di dalam setiap perayaan tersebut, khususnya Gawai Dayak, faktor lingkungan memiliki pengaruh yang besar bagi setiap masyarakat. Sebagian masyarakat dan orang Dayak “besaing” dalam hal kemeriahan acara, hal ini dengan cara membandingkan kemeriahan dari satu desa ke desa lain, dari satu kampung ke kampung yang lain, bahkan antar rumah satu dengan rumah yang lain dalam satu desa.
Memang selama ini tidak dikatakan bahwa orang yang berkekurangan ataupun yang taat pada agama, dianggap sebagai orang-orang yang tidak beradat ataupun dikucilkan, apabila mereka tidak ikut merayakan Gawai. Tetapi prasangka-prasangka negatif sering muncul dari seseorang masyarakat Dayak sendiri. Ia takut bila dianggap tidak beradat, ia takut bila tidak diberkati oleh “Tuhannya”, ia malu atau gengsi pada kaum kerabat dan orang-orang yang ada di sekitarnya bila ia tidak ikut dalam perayaan. Maka diadakanlah olehnya pesta Gawai tersebut.

Faktor Pendidikan
Sikap “kristis” belum dimiliki oleh sebagian Masyarakat Dayak. Hal ini terbukti masih ada sebagian masyarakat yang belum bisa membedakan antara kepercayaan kepada Tuhan Allah dengan kepercayaan kepada “Tuhannya”. Antara kebudayaan yang membangun dengan kebudayaan yang tidak membangun. Memang tidak sedikit orang Dayak terpelajar yang berpendidikan tinggi, tetapi pertanyaannya; Telah dikemanakankah hasil pendidikan tersebut?, Adakah usaha dari golongan terpelajar untuk bersungguh-sungguh membangun Masyarakat sendiri?. Bersyukur bila hasil pendidikan tersebut digunakan untuk membantu masyarakat, memotivasi mereka, mengajak mereka berpikir kritis terhadap kebudayaan, mencintai pendidikan dan agama dll; tetapi celakanya bila hasil pendidikan tersebut digunakan untuk membodohi sesama sukunya sendiri yang tidak berpendidikan tinggi, digunakan untuk menjadi “caleg” gagal dan “peneladan sejati” dalam hal minum mabuk dan lain sebagainya. Cinta kepada alam dan lingkungan Kalimantan Barat juga telah meninabobokan pendidikan sebagian Masyarakat Dayak.

Tinjauan Kritis
Sekali lagi, Gawai Dayak itu baik, tetapi mari kita melihat dampak positif dan negatif dari perayaan tersebut.
Dampak Positif
Terjalin Pesaudaran Yang Erat
Perayaan Gawai Dayak adalah perayaan yang ditunggu-tunggu oleh hampir seluruh Masyarakat Dayak. Moment ini dirasakan sangat penting, bukan hanya dalam hal perayaannya saja, tetapi dalam hal menjalin persaudaraan yang erat antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu kampung dengan kampung yang lain, antara satu keluarga dengan keluarga yang lain, bahkan antara pribadi satu dengan pribadi lainnya. Suasana persaudaraan antara sesama suku Dayak juga dirasakan sangat kuat. Kebangaan sebagai orang Dayak juga dapat dirasakan pada saat Gawai. Keluarga-keluarga yang berjauhan juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke tempat setiap saudaranya yang merayakan Gawai, dan itu dijadikan sebagi suatu kesempatan bagi kebersamaan keluarga.
Kebiasaan yang paling unik, terutama di sebagian daerah suku Dayak, yakni dengan adanya giliran perayaan. Misalnya daerah yang satu merayakan Gawai pada hari tertentu, daerah yang lain datang berkunjung untuk memeriahkan. Begitu pula bila daerah yang mengunjungi tersebut merayakan Gawai, daerah yang yang telah dikunjungi membalasnya dengan berkunjung pula. Relasi persaudaraan dibangun atas dasar tersebut.

Melestarikan Kebudayaan Dayak
Dalam masyarakat Dayak, tradisi lisan memainkan peranan yang sangat penting khususnya dalam tatanan hidup bermasyarakat. Dengan demikian hal itu menjadi salah satu identitas kolektif bagi masyarakat suku Dayak. Bersamaan dengan itu, King dan Ave menyebut, bahwa tradisi lisan itu sebagai media untuk menyampaikan pandangan mereka tentang kehidupan dan makanan, tentang kematian dan realitas kehidupan setelah kematian. Tradisi ini selalu disampaikan secara turun-temurun oleh tua-tua yang dianggap dan dihormati di dalam masyarakat tersebut.
Gawai Dayak juga termasuk salah satu kebudayaan yang harus tetap dipelihara, karena itulah ciri khas masyarakat Dayak. Hanya jangan sampai Gawai Dayak menjadi sinkretisme. Gawai Dayak tidak harus dengan sejajen kepada “Tuhannya”, minum-mabuk dll, tetapi mengunakan cara lain yang membangun dan menyehatkan jesmani dan juga rohani.

Dampak Negatif
Merusak moral
[5]
Tidak jarang perayaan Gawai Dayak disertai dengan pertengkaran, yang diakibatkan karena mabuk tuak, arak dll. Ada pula yang menjadikan ajang tersebut sebagai tempat aksi balas dendam (dendam lama). Pembunuhan juga sering terjadi, karena diakibatkan rasa cemburu dari pasangan tertentu, akibat suami atau istri sama mabuk tuak dan “selingkuh” yang menimbulkan api cemburu yang kuat dan berakhir dengan saling bacok-membacok. Anak-anak kecil yang masih berusia 5 tahun sudah ikut-ikutan minum tuak, apalagi remaja dan pemuda yang kadangkala lupa diri dan merusak harga diri dengan berbagai hal yang tidak baik. Gawai Dayak secara tidak langsung telah menimbulkan berbagai peluang negatif bagi masyarakat Dayak sendiri. Perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kawin muda karena MBE, pemerkosaan dll, inilah “buah” dari Gawai Dayak. Semua ini muncul karena pesta mabuk-mabukkan miras.
Sinkretisme
Secara sadar atau tidak sadar, sebagian masyarakat Dayak yang masih memegang erat “Gawai Dayak”, terutama yang mengadakan ritual-ritual kepada “Tuhannya”, selama ini telah hidup dalam sinkretisme. Memang tidak dapat disangkal bila hampir di setiap daerah suku Dayak, telah masuk Kekritenan (Baik itu Protestan maupun Katolik), itu berarti bahwa rata-rata masyarakat Dayak mengenal dan menganut kepercayaan kepada Kristus. Tetapi mengapa masih tetap saja ada masyarakat yang belum bisa membedakan antara kepercayaan kepada “Tuhannya” dengan percaya kepada Kristus?. Mereka pergi ke Gereja, tetapi mereka juga aktif dalam ritual-ritualnya. Keterikatan akan kuasa gelap telah mendarah daging dalam diri sebagian masyarakat Dayak, sehingga sinkretisme terus berkembang. Anehnya lagi, sebagian “gereja dan pemimpin rohani” juga ikut-ikutan.

Gawai Dayak Dari Perspektif Teologis
Benarkah Gawai Dayak termasuk ke dalam hal sinkretisme dan penyembahan kepada berhala, sehingga menjadi penghambat pertumbuhan iman umat Kristen Dayak serta menjadi pemicu terjadinya imoralitas?
Bila kita melihat tujuan dari perayaan tersebut, secara khusus bagi Masyarakat Dayak yang masih memegang erat trasdisi tersebut, sebenarnya perayaan tersebut dapat dikatakan sebagai Sinkretisme dan penyembahan kepada berhala
[6]. Mengapa?, Tujuan Gawai tersebuat adalah untuk meminta berkat, petuah, pertolongan, keselamatan, mengucap syukur dan lain sebagainya kepada “Tuhannya” yakni Jubata, Roh Nenek-moyang, Batu, Kayu, gunung dan tempat-tempat yang dianggap keramat lainnya. Dari ritua-ritualnya, kita dapat melihat dengan adanya pemberian sesajen berupa kepala babi, nasi ketan (ruas), tuak, darah binatang dan makanan/minuman khusus lainnya. Imoralitas dari “buah” Gawai Dayak yang secara tidak sadar telah menghancurkan sebagian pribadi, keluarga dan masyarakat suku Dayak.
Firman Tuhan “Jangan ada padamu Allah lain di hadapan Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi, di bawah, atau yang ada di dalam air, di bawah bumi. Jangan sujud menyembah atau beribadah kepadanya” (Keluran 20:3-5). Firman Tuhan yang diberikan kepada Bangsa Israel, dimana orang Israel harus tetap loyal kepada Tuhan. Mereka harus beribadah kepada Tuhan saja dan dilarang beribadah kepada allah lain. Mereka harus bebas dari kekuatan allah-allah lain. Menurut kepercayaan para politheis atau bangsa-bangsa kafir sekitar Israel, ada beberapa allah yang kehendaknya bertentangan dan mereka harus berusaha melayaninya dengan cara yang menyenangkan hati mereka semua. Mereka harus tetap takut akan kemuarkaan setiap allah. Barangkali ada allah yang sangat berkuasa yang belum mereka perhatikan dan allah itu akan membinasakan mereka. Firman kedua yaitu ”jangan membuat bagimu patung” terdapat dalam ayat keempat. Firman itu melarang orang Israel beribadah kepada Tuhan dengan cara yang tidak sesuai dengan sifat-Nya. Karena pada zaman kuno patung dianggap sebagai tempat berdiamnya allah yang diwakilinya. Itu berarti bahwa allah itu bersifat statis dan terbatas, bahkan bisa dikontrol oleh yang beribadah kepadanya. Namun, Tuhan Allah Israel bersifat dinamis, bebas, dan tidak terbatas. Dialah yang memerintah dan tidak dapat dikontrol. Patung-patung cenderung menarik manusia sehingga dia beribadah kepada Tuhan seakan-akan sifat-Nya sama dengan sifat allah-allah kafir. Tanpa patung, manusia lebih terbuka terhadap Tuhan dan mengenal sifatnya-Nya yang sesungguhnya
[7].
Penyembahan kepada berhala dan Sinketisme dengan tradisi adalah yang paling umum terjadi bahkan semasa Yesus hidup pun, dan konsekuwensinya di samping ajaran yang campur aduk, sering terjadi bahwa adat-istiadat tradisi lebih diutamakan dari Injil Allah.
Sinkretisme dengan berhala-berhala Romawi dikritik oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Rom. 1:18-32), bahkan dalam jemaat Korintus, Paulus menghadapi sinkretisme dengan Rasionalisme (1 Kor. 18:2-5) tetapi tidak lepas adanya sinkretisme tradisi penyembahan berhala (1 Kor. 8). Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus mengigatkan bahaya sinkretisme dengan adat-adat Yahudi dan Tauratisme (Gal. 2-3)
[8]. Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Rasul Pulus mengatakan: “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kol. 2:6-8).

Kesimpulan Teologis
Perayaan adat suku Dayak ini, memang menimbulkan kontroversi bagi golongan beragama (Khususnya Jemaat Kristen yang sungguh-sungguh di dalam Kristus), dengan masyarakat awam, termasuk jemaat bergereja yang masih kuat tadisi nenek moyang tersebut. Permasalahan itu muncul karena golongan beragama berusaha menghilangkan Gawai Dayak tersebut, karena dianggap penyembahan kepada berhala, sedangkan golongan masyarakat adat, berusaha untuk tetap mempertahankan Gawai Dayak tersebut, karena dianggap sebagai perayaan “wajib” yang memang sudah tradisi turun-temurun karena dianggap telah menjadi sumber berkat, pertolongan dan keselamatan bagi mereka. Permasalahan ini muncul hampir di setiap suku bangsa Dayak.
Kita dapat mengambil kesimpulan teologis dari permasalahan ini sebagai berikut:
Pertama, Gawai Dayak memiliki dampak positif dan negatif. Positif karena melaluinya kebersamaan dan kebudayaan masyarakat Dayak tetap terpelihara; negatif karena melalui Gawai tersebut imoralitas terjadi, penyembahan kepada berhala dan sinkretisme terus berkembang, masyarakat buta terhadap kebenaran dan Injil.
Kedua, Gereja dan para pemimpin gereja harus berperan aktif dalam memberikan penjelasan yang benar tantang makna dari pada Gawai Tersebut. Jangan sampai berita keselamatan dari Kristus dikalahkan oleh tradisi atau adat yang tidak benar dalam kacamata iman Kristen
Ketiga, Golongan terpelajar suku bangsa Dayak, harus peduli kepada masyarakatnya (di samping kepada suku-suku lain). Mendorong masyarakat Dayak untuk maju dalam pendidikan dan harus bergandengan tangan dengan gereja untuk memeberikan konsep teologis yang benar terhadap pesta Gawai Dayak tersebut.
Keempat, Gawai Dayak dapat dilakukan dengan ibadah di Rumah adat, rumah pribadi dan tempat-tempat lainya, mengucap syukur kepada Tuhan Allah di Surga, tanpa disertai dengan ritual-ritual adat yang penuh dengan kuasa gelap, karena Tuhan Allah kita bersifat dinamis, bebas, dan tidak terbatas. Dialah yang memerintah dan tidak dapat dikontrol. Patung-patung cenderung menarik manusia sehingga dia beribadah kepada Tuhan seakan-akan sifat-Nya sama dengan sifat allah-allah kafir. Tanpa patung dalam ritual-ritual adat, manusia lebih terbuka terhadap Tuhan dan mengenal sifatnya-Nya yang sesungguhnya.
Kelima, Orang Dayak harus menjadi seorang Kristen sejati dan orang Dayak sejati, sehingga nama Tuhan dipermuliakan dalam kehidupan suku bangsa Dayak.

[1] Tidak serempak, karena di daerah-daerah tertentu sudah ditetapkan oleh masyarakat setempat, sesuai dengan waktu yang dirasakan tepat atau bisanya sehabis panen ataupun awal ketika akan memasuki pembukaan lahan pertanian baru
[2] Kata Dayak merupakan “Pemersatu”. Jan Ave dan Viktor King melukiskan Dayak sebagai The people of the Weaving forest (orang dari hutan yang meratap). Ada pula yang menggambarkan mereka sebagai The headhunters of Borneo (Pemburu kepala dari Borneo). Adapula yang mengatakan bahwa kata “Dayak” digunakan karena orang Dayak tidak memiliki identitas seperti suku-suku lainnya.

[3] Sinkretisme disebut dalam kamus sebagai ”penyatuan aliran” sedangkan istilah ini dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut “mencampuradukkan agama-agama”. Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa “Syncretistic”, berarti “tending to reconcile different beliefs, as philosophy and religion”. Jadi sinkretisme dalam agama adalah usaha penyatuan dan pencampuradukkan berbagai faham-faham agama dengan kecenderungan untuk mendamaikan faham-faham itu.
[4] Hal ini dilihat secara umum dari Masyarakat Dayak.
[5] Hal ini dilihat dari kenyataan di daerah saya sendiri, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi di daerah suku bangsa Dayak lainnya.
[6] Di dalam bahasa Ibrani, adalah pasel, umumnya mengacu kepada patung pahatan berupa orang, binatang, atau bentuk-bentuk lainya, juga ”patung tuangan” yang dibuat dari tanah, batu atau logam.
[7] Dr. Robert M. Paterson, Kitab Keluaran, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006, hal. 266
[8] Herlianto, Injil dan Sinkretisme (Jurnal Pelita Zaman Vol. 11, no. 2) , Bandung, hal. 98-99

2 komentar:

  1. Saya sangat senang berdiskusi tentang tulisan ini, maka jikalau ada saudara-saudara yang membacanya, saya harap dapat memberikan komentar, sehingga kesimpulannya bermanfaat bagi kita bersama!!

    Terima Kasih!

    BalasHapus
  2. harus dikaji lebih mendalam sehingga tidak menimbulkan ekses negatifn karena ini berhubungan dengan tradisi dan budaya serta kearifan lokal

    BalasHapus