Rabu, 09 September 2009

ASAL MULA JEMAAT KAPAL SELAM


Edi P. Labang

Salah satu permasalahan yang paling banyak dihadapi oleh gereja-gereja dewasa ini adalah maraknya jemaat Kapal Selam. Istilah jemaat kapal selam sering kali kita dengar, namun dalam tulisan ini, jemaat KTP, Jemaat Tahunan (Natal), dan jemaat timbul tenggelam (minggu ini datang, kemudian cuti tiga minggu), jemaat fanatisme, saya sebut dengan istilah “Jemaat Kapal Selam”.
Secara jujur, banyak gereja yang tidak sadar akan hal ini. Kalaupun ada, permasalahan ini dianggap sebagai suatu masalah yang biasa-biasa saja. Cara bergereja jemaat seperti itu dianggap bukan sebagai ancaman, sebab banyak gereja merasa aman-aman saja berada dalam situasi tersebut. Celakanya apabila ada gereja yang tahu akan permasalahan tersebut, tetapi tidak mau tahu. Jemaat datang dan pergi sesuka hati, sebab hal itu memang sudah tradisi dan merupakan suatu kebiasaan yang lazim dilakukan.
Ada juga gereja yang sangat serius menanggapi hal ini, tetapi hanya sebatas berada di awan-awan saja. Perkunjungan jemaat, pembinaan pastoral, pemberian sembako, melibatkan jemaat dalam pelayanan, semuanya ini baik tetapi kurang tepat, buktinya paling-paling seminggu atau pun sebulan lamanya bertahan, sehabis itu kembali seperti semula (timbul tenggelam). Gereja harus menemukan letak dasar permaslahan ini dan mencabutnya sampai ke akar-akarnya, sehingga permasalahan ini dapat teratasi.
Dari manakah akar permasalahan munculnya jemaat kapal selam?
Ada beberapa faktor yang harus kita evaluasi secara bersama-sama dan ditanggapi secara serius, bila gereja-gereja tidak mau jemaatnya seperti kapal selam.

Buah Ketekisasi Jadul
Gereja mana yang tidak berbangga bila mendapatkan jiwa-jiwa baru atau mengalami pertambahan anggota jemaatnya, akan tetapi mari kita renungkan: Apakah anggota jemaat baru tersebut, benar-benar seperti apa yang gereja harapkan?, lalu mengapa di dalam gereja tersebut lahir Jemaat Kapal Selam?
Nah, apa yang salah dan dimana letak kesalahan gereja tersebut?
Letaknya ada pada pengejaran kelas katekisasi gereja itu sendiri. Yang salah bukan pengajaran semata, tetapi dari materi dan metode penyampaian yang tidak kena pada sasaran yang ingin dicapai.
Dari hal pengajaran, kadang kala gereja tidak mau terbuka terhadap pengajaran-pengajaran baru yang bisa dijadikan bahan referensi untuk materi katekisasi.
Materi yang digunakan adalah materi dari jaman dahulu kala (jadul), yang dicari di tokoh buku mana pun sudah tidak ada lagi. Pengajaran konservatif seperti inilah yang akhirnya melahirkan tidak hanya jemaat kapal selam, tetapi orang-orang fanatik yang berpikiran sempit, menganggap diri paling benar dan orang lain sesat.
Dengan menerima pengajaran-pengajaran baru, bukan berarti meninggalkan atau mengabaikan inti doktrin gereja itu sendiri, tetapi gereja harus mau terbuka terhadap hal-hal baru yang bisa dijadikan bahan perbandingan. Ada banyak buku-buku katekisasi yang baru dan berbobot, namun anehnya masih ada gereja yang tetap memakai buku katekisasi yang sudah kadarluarsa itu. Buku itu seakan-akan berisi pengajaran yang mutlak, dan tidak ada kebenaran lain di samping itu. Seakan-akan pengajaran-pengajaran lama tersebut adalah wahyu langsung dari Allah dan tiket satu-satunya untuk seseorang dikatakan bisa dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Metode Penyampaian pun dalam hal ini, masih banyak gereja-gereja yang terlalu kaku dalam menyampaikan pengajaran katekisasi. Hal ini tidak ada ubahnya dengan sistem pendidikan di sekolah-sekolah yang formal.
Peserta kelas katekisasi hanya datang, mengisi absent, duduk, diam, menghafal, dan pulang, begitu seterusnya sampai pada jangka waktu yang telah ditentukan untuk akhirnya dibabtis.
Pengajaran yang kaku, sistem sekolah formal tersebut memberi peluang terbesar lahirnya para tokoh-tokoh munafik yang suka bertopeng di gereja dan tidak ketinggalan pula jemaat kapal selam.
Penyampaian metode harus kreatif dan dan jangan terlalu kaku. Tempat untuk belajar katekisasi tidak harus di gereja saja, metode penyampaian tidak harus selalu satu metode saja dan yang penting adalah evaluasi pembelajaran-pembelajaran yang telah disampaikan, paling tidak satu kali dalam dua atau tiga kali pertemuan. Tujuannya adalah agar pembelajaran katekisasi tersebut sesuai dengan apa yang menjadi tujuan umum atau khusus gereja tersebut.
Isi pengajaran katekisasi pun kadang kala di awan-awan. Jemaat hanya diajarkan hal-hal yang bersifat teologis, tetapi hal-hal yang berhubungan dengan masalah sosial, masalah kehidupan rumah-tangga serta kebutuhan-kebutuhan jasmani lainnya diabaikan (tidak ada keseimbangan). Pengabaian ini terjadi karena gereja yang mengadakan kelas katekisasi tersebut tetap memegang kuat doktrin-doktrin konservatif kuno, buku-buku katekisasi dan tradisi-tradisi gereja yang sudah dikeramatkan, tidak dapat diganggu gugat, karena tabu. Maka jangan heran bila digereja tersebut, sekali lagi saya katakan, lahir para fanatisme, tukang kritik pengajaran/aliran lain yang berbeda dengannya, dan tidak ketinggalan pula para tokoh-tokoh munafik serta jemaat kapal selam.

Buah dari GBN (Gereja Baru Nonggol)
Maraknya GBN juga menjadi pemicu munculnya jemaat kapal selam. Gereja kadangkala sibuk bermisi atau mengadakan penginjilan serta membuka pos PI di mana-mana. Yang dipikirkan adalah seberapa banyak gereja memenangkan jiwa bagi Kristus, seberapa hebat gereja Anu dan Situ memperluas pos-pos PI, sehingga dikatakan gereja yang hebat, gereja yang bermisi bahkan gereja yang diberkati. Gereja bermisi dan membuka pos-pos PI, sangat Alkitabiah, hanya saja bagaimana dengan nasib orang-orang yang gereja himpun tersebut, apakah gereja puas bila hanya sampai pada tahap itu saja?, sementara ada nilai-nilai kristiani yang lain diabaikan, yang sangat penting dan paling penting.
Banyak gereja yang belum sadar akan hal ini dan jatuh dalam satu ekstrim, yang hanya menekankan satu sisi dan mengabaikan sisi yang lain.
Jemaat boleh bertambah banyak dan pos PI boleh seperti jamur di musim penghujan, tetapi gereja jangan lupa untuk memikirkan nasib jemaat itu sendiri. Sebab kenapa, banyak GBN yang asal berdiri tanpa ada tindak lanjut seperti adanya pengajaran katekisasi, penanaman nilai-nilai sosial, kehidupan berumah tangga, pelatihan-pelatihan untuk menunjang kehidupan jemaat dan lain sebagainya.
Sikap gereja GBN ini tidak ubahnya seperti para pekerja upahan, yang hanya bisa bekerja, mengumpulkan dan menyerahkan hasil pekerjaannya kepada Sang Mandor. Sang Mandorlah yang melanjutkan hasil dari para pekerja upahan tersebut, sebab Sang Mandor dipercaya memiliki segala-galanya, tinggal minta saja, sementara para pekerja upahan terus bekerja dan mengumpulkan dan akhirnya menyerahkan, begitu seterusnya.
Jangan heran bila timbul banyak jemaat KTP, Jemaat Tahunan (Natal), dan jemaat timbul tenggelam (minggu ini datang, kemudian cuti tiga minggu), jemaat fanatisme, dalam gereja tersebut, bila melihat dari kenyataan di atas.
Gereja-gereja yang demikian, sebaiknya berpikir yang realistis saja. Biar jemaatnya sedikit, biar pos PI hanya satu ataupun tidak ada sama sekali, tetapi jemaatnya dewasa dalam beragama, setia kepada pengajaran gerejanya, bisa mengelola hidupnya dengan baik, tidak berpikir sempit, tidak suka menghakimi gereja lain bahkan agama lain, yang intinya tidak menjadi jemaat kapal selam.

Buah dari Gereja Sembako
Gereja seringkali memberikan iming-iming kepada calon jemaat ataupun orang di luar jemaat, untuk bisa datang ke gereja, yakni dengan memberikan sembako atau bantuan bea siswa.
Strategi gereja yang seperti ini, menurut saya adalah keliru. Sangat membumi bila gereja melakukan aksi sosial, dan tindakan kemanuasiaan lainnya, tetapi itu bukan dijadikan alat untuk bermisi, memperbanyak jemaat, mendirikan GBN dan lain sebagainya.
Orang menjadi Kristen hanya karena satu karung beras, satu kardus Mie, satu kaleng minyak goreng dan lain sebagainya. Sebab itu muncul istilah Kristen sembako. Bila ada pembagian sembako datang ke gereja, dan bila tidak ada sembako, tidak pergi ke gereja.
Anahnya gereja-gereja yang melakukan kegiatan tersebut, sangat berbangga dan rasanya sukacita surga telah mengalir atasnya. Tapi tunggu dulu, benarkah rasa bangga dan sukacita yang dirasakan adalah sukacita bahwa calon jemaat atau orang lain di luar jemaat tersebut menunjukkan dirinya benar-benar sebagai orang kristen sejati?
Itulah yang namanya rasa bangga dan sukacita yang keliru. Tidak menyadari bahwa ada jemaat lama yang sudah bertahun-tahun bergereja tidak diberi sembako dan bea siswa, yang mungkin pada saat-saat tertentu sangat membutuhkan, tetapi sesuatu yang belum terbukti, itu yang diutamakan. Gereja tersebut sebenarnya sedang membodohi dirinya sendiri.
Kegitan pembagian sembako atau pemberian bea siswa, sebaiknya jangan dijadikan alat untuk menarik orang agar menjadi kristen. Alangkah lebih baik bila gereja mau memberi bantuan sosial dan bantuan kemanusiaan lainnya, hanya karena ketulusan dan rasa peduli gereja tersebut terhadap sesamanya, yang disalurkan secara wajar. Atau pun gereja tersebut mulai belajar untuk melihat ke dalam, paka terhadap kebutuhan jemaat yang sudah ada, bukan yang belum jelas statusnya. Lebih baik orang masuk kristen, karena mereka melihat kehidupan jemaat bergereja yang benar, dewasa dalam beragama, peduli akan sesama dan aksi sosial lainnya, karena kesadaran dan keputusan hati nurani mereka sendiri, dari pada menjadi kristen dengan iming-iming dan motivasi yang salah. Jemaat kapal selam pun akan hilang lenyap yang ada hanya jemaat yang cinta akan gereja dan Sang Pemiliknya.

Jemaat Nomaden
Istilah mencuri domba sangat sering kita dengar, seperti gereja Anu mencuri domba gereja Situ begitu pula sebaliknya.
Munculnya istilah ini adalah dari jemaat kapal selam, jemaat sembako dan bea siswa dan jemaat pencari jati diri.
Gereja seringkali terjebak dan tertipu oleh jemaat nomaden ini. Pagi orang-orang tersebut ke gereja Anu, siang pergi ke gereja Situ, sore pergi ke gereja Sono, begitu seterusnya.
Bahkan ada keluarga yang sengaja berpencar gereja, demi untuk kepentingan lain.
Kenapa demikian?, hal ini karena ada udang di balik bakwan. Mereka tidak nampak seperti para petualang, karena mereka memakai topeng khusus yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa.
Wasapadalah gereja akan jemaat nomaden ini, sebab bila tidak gereja akan menjadi agen sembako dan agen-agen tindak kemanusiaan lainnya, yang tak ubahnya seperti sebuah lembaga sosial sekuler. Orang ke gereja bukan untuk mencari Tuhan, tetapi mencari bantuan ekonomi. Memang tidak salah bila di dalam gereja orang bisa merasakan kasih antar sesama anak Tuhan dan gereja mencari lapangan pekerjaan bagi jemaat, tetapi bukan itu yang dimaksud di sini. Gereja harus peka terhadap jemaat-jemaat seperti itu. Beri mereka pemahaman dan pembinaan yang intensif dan berkelanjutan, sampai mereka benar-benar menjadi jemaat yang dewasa dalam beragama.

Kesimpulan:
Jemaat kapal selam adalah korban dari gereja yang terlalu konservatif, tertutup dan gereja yang lebai (istilah bahasa gaulnya), gereja yang suka memberi iming-iming tetapi akhirnya diiming-iming juga oleh jemaatnya.
Gereja harus bersikap kritis dalam hal ini, karena bila tidak maka Jemaat Kapal Selam ini akan seperti jamur di musim penghujan. Lebih baik jemaat sedikit di mana kebutuhan rohani dan jasmaninya seimbang, dewasa dalam beragama, setia kepada pengajaran gerejanya, bisa mengelola hidupnya dengan baik, tidak berpikir sempit, tidak suka menghakimi gereja lain bahkan agama lain, yang intinya tidak menjadi jemaat kapal selam, dari pada gereja bercita-cita memperbanyak jemaat, tetapi menelantarkan orang lain hanya karena ambisi yang keliru, hanya karena program-program gereja harus dijalankan, apalagi sebagai tuntutan kependetaan atau kemandirian gereja dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar