Rabu, 16 September 2009

Siapa Yang Benar: Pietisme vs liberalisme?


Edi P. Labang

Istilah pietisme dan liberalisme sangat tidak asing dalam kehidupan umat beragama, secara khusus dalam umat
Kristen sendiri. Karena sangat terkenalnya istilah ini, maka munculah istilah Kristen liberal dan Kristen non liberal.
Orang yang “menyimpang” dari tradisionalisme dan dogmatisme dianggap liberal, sedangkan orang yang tekun beribadah, sering bersaksi, mengakung-agungkan Roh Kudus dan mujizat dianggap orang-orang pietis, apalagi yang sangat senang beraskese. Alangkah sempitnya cara berpikir orang-orang yang hanya menilai demikian saja. Menilai hanya sekilas pandang, lalu mengambil keputusan kemudian mencap dan menghakimi. Itulah orang-orang munafik orang yang menganggap gerejanya, alirannya dan diri meraka adalah orang-orang yang paling benar dan paling beriman.
Anehnya lagi ada orang yang ikut-ikutan mencap pietis atau liberal kepada orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu, tanpa mengerti dan memahami apa arti dari istilah tersebut, itulah namanya mengekor, mau dibodoh-bodohin, dan orang yang sok tahu.
Apa sebenarnya pietisme dan liberalisme itu?, benarkah kedua-duanya adalah sesuatu yang bertolak belakang? Ataukah kedua-duanya memiliki kesamaan?
Dalam kamus teologi dan kamus sejarah gereja, pietism (pietas = kesalehan) pietisme merupakan gerakan keagamaan abad ke -17 berasal dari Jerman yang menekankan pemahaman Alkitab dan pengalaman religius pribadi. Pelopornya, antara lain adalah P.J. Spener. Tujuannya adalah menghidupkan kembali kehidupan iman dalam kalangan orang-orang Protestan di Jerman yang telah menjadi suam karena kebekuan ajaran dan pengaruh semangat pencerahan. Gerakan pietisme telah mendorong berdirinya lembaga-lembaga pekabaran injil di seluruh dunia, sehingga pada abad ke- 19 kegiatan pekabaran Injil menjalar di seluruh dunia. Jadi aliran pietisme ini telah memberikan sumbangsih yang besar bagi berdirinya gereja, secara khusus di Indonesia ini. Apalagi di jaman sekarang ini, di mana adanya kemajemukan dan jaman dunia post modern, kita bisa membayangkan seandainya bila tidak ada orang-orang pietis, orang-orang Kristen mungkin tidak ada yang “beribadah” ke gereja lagi, mungkin juga ada yang menjadi orang-orang “ateis.”
Sedangkan liberal (liber=bebas) memiliki tiga makna yaitu: Murah hati, bebas, orang yang terbuka wawasannya. Liberal protestantism yaitu aliran Protestan yang ingin berteologi sambil bebas dari : Pertama, dogma-dogma dan rumusan-rumusan iman yang tradisional dan kedua, dalam hal memanfaatkan naskah-naskah dan sumber-sumber historis. Liberalisme atau teologi liberal adalah aliran teologi yang terbuka terhadap penelitian ilmiah pengetahuan, penelitian historis, dan terhadap sumbangan kesenian dalam hal memahami agama. Jadi aliran ini adalah di mana teologinya bisa dikatakan lebih kontekstual dan tidak di awan-awan, iman orang kristen makin kritis, serta lebih banyak berbicara yang realisti ketimbang yang abstrak, meskipun lebih terkesan mengandalkan akal budi, tetapi bukankah teologi yang takut dikritisi oleh akal budi, adalah telogi yang tidak jelas, diragukan dan perlu dipertanyakan?
Kedua-duanya, pietisme dan liberalisme, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya. Siapa yang benar?, kita tidak tahu, apalagi ini adalah masalah kepercayaan seseorang atau kelompok, iman seseorang atau kelompok, toh... yang mempertanggung jawabkan imannya nanti, orang atau kelompok itu sendiri, bukan orang lain.
Dengan melihat pejelasan sederhana di atas, tentu orang-orang tersebut sudah bisa membedakan kedua istilah kata itu, tanpa menjadi orang yang sok tahu, hanya bisa mencap dan menghakimi tanpa mengerti arti dan maksudnya.
Usul saya, ada baiknya orang-orang tersebut memperhatikan dan merenungkan beberapa hal berikut sebelum mencap dan mengenakan istilah ini kepada orang lain:

Pietis Tetapi Liberal
Ada orang yang mengaku menganut aliran pietisme termasuk juga yang mengaku fundamental, ortodok, maupun konservatif, tetapi kelakuan hidupnya sangat liberal, bahkan melebihi orang-orang liberal. Anehnya orang seperti ini sangat anti liberal. Tabu bila berkata tentang liberal, sebab yang ia tahu, liberal adalah sesat, bidat dan tidak alkitabiah. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang terlalu lama di dalam tempurung. Saleh dalam beragama, tetapi tidak saleh dalam perbuatan dan tingkah laku. Mengerti dan menghafal seluruh ayat alkitab, tetapi tidak melakukan. Sikap beragama seperti ini adalah tak ubahnya dengan orang-orang farisi dan ahli-ahli taurat pada jaman Yesus hidup. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang menipu diri sendiri dan membuat serta menimbun dosa bagi diri sendiri, apalagi bila berbicara tentang murka Allah, ngeri!.
Jujur pada diri sendiri, pada sesama dan terlebih lagi Tuhan adalah lebih baik, sebab bukankah hidup jujur lebih baik dari pada menjadi orang munafik.
Jangan mudah mencap dan mengenakan istilah liberal kepada orang lain atau kelompok tertentu, bila kelakuan dan tingkah laku si pencap dan si pengena lebih liberal dari orang-orang yang menurutnya liberal.
Kalau memang mengaku pietis dan takut dibilang liberal, hiduplah seperti orang pietis yang beragama dan pietis yang benar serta dewasa dalam beragama, begitu pula dengan orang yang fundamental, konservatif maupun yang ortodok. Dan yang penting adalah lihatlah balok di mata sendiri sebelum melihat dan mencungkil selumbar di mata orang lain. Dan lagi, apakah gunanya menjadi tukang mencap atau menghakimi orang lain?, bukankah lebih baik bertekun dalam kepercayaan sendiri dan menghasikan buah serta menjadi berkat bagi orang lain?. Anehnya, belum cukup rasanya menjadi orang beriman, bila belum menimbang, menilai, mencap dan menghakimi iman orang lain.

Liberal Tetapi Pietis
Ada juga orang yang menganut liberalisme dan orang-orang seperti ini adalah sasaran empuk untuk dicemooh, dijelek-jelekan oleh orang-orang yang mengaku dirinya pietis.
Tetapi tunggu dulu, ternyata orang liberal ada yang lebih pietis dari orang-orang pietis sendiri. Orang-orang yang tidak banyak berbicara, tetapi banyak berbuat, bahkan lebih “manusiawi” dari orang-orang yang menganggap dirinya pietis atau fundamental dan sebagainya.
Orang-orang yang dianggap liberal tersebut adalah orang-orang mau hidup sebagaimana ia ada. Ia mau mengakuai kelemahan dan kekurangannya, ia mau menaggalkan topeng kemunafikan dan mau hidup apa adanya. Berbicara yang realistis, membumi dan lebih manusiawi.
Kalau memang orang itu liberal, biarkanlah. Bukankah itu adalah hal kepercayaan yang masing-masing orang suatu saat nanti harus memepertanggung jawabkan imannya. Mau dia masuk surga atau neraka, itu hak dia dan bukan pekerjaan serta usaha kita, kata kasarnya ”Bukan urusan kita”!.
Namun demikian, para penganut liberalisme juga tidak perlu mencap atau menghakimi orang-orang yang menganut pietisme. Kadangkala orang-orang liberal mencap orang pietis sebagai orang yang ortodok, konservatif, radikal, dan fundamental, hal ini menurut mereka dikarenakan orang-orang pietis hidup dalam iman tradisionalisme dan dogmatisme. Seperti halnya orang-orang pietis tadi, lebih baik sedikit berkata-kata, tetapi banyak berkarya nyata. Dan jangan terlalu sibuk menganggap orang-orang pietis adalah orang-orang yang dibodoh-bodohi oleh gereja atau bapa-bapa gereja, karena rumusan dogmatisme dan iman tradisionalisme geraja mula-mula. Apalagi memanas-manasi orang-orang ortodok, fundamental, konservatif dengan penemuan-penemuan baru, sebab orang-orang tersebut akan mengutuk tujuh kali tujuh turunan, karena mereka memiliki beribu-ribu bahkan lebih ayat-ayat Alkitab untuk membela diri dan membela alirannya. Sekali lagi, ini adalah masalah kepercayaan.

Akhirnya, dari pada repot-repot menghakimi selumbar di mata orang lain dan menyiapkan cap bagi orang atau kelompok tertentu, lebih baik perdalam iman, perdalam perbuatan, jangan banyak berteori, tetapi lakukanlah. Buktikanlah bila diri atau kelompoknya adalah orang beragama yang tidak hanya berbicara surga dan neraka yang jauh di sana, tetapi bisa menciptakan surga di bumi, di mana setiap orang yang rindu merasakan nikmatnya surga di sana, tetapi dapat dirasakan saat ini, sekarang ini, dan di bumi ini. Dan jangan menjadi orang pietis tetapi prilakunya paling liberal, bahkan lebih liberal dari segala makhluk yang hidup di bumi ini, begitu pula dengan orang-orang liberal yang ujung-ujungnya gila, karena terlalu banyak berpikir, terlalu terbuka, hingga lupa menutupnya!, nah lho....!Jargon “melampaui kitab suci’ dapat dibaca sebagai “rasio melampaui iman” . Pencipta mengimani hasil ciptaannya sendiri. Penganut liberalisme menjadikan rasio sebagai ukuran satu-satunya untuk membatasi apa yang ada dan apa yang tidak ada; apa yang benar dan apa yang tidak benar; apa yang historis dan apa yang tidak historis. Ingat bahwa apa yang tidak kita ketahui, belum berarti bahwa itu tidak ada, apa yang masih merupakan misteri, belum berarti bahwa itu tidak benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar