Sabtu, 26 September 2009

GEREJA DAN DISIPLIN GEREJA


Edi P. Labang

Gereja sering dipahami sebagai tempat berkumpulnya orang-orang kudus, orang-orang yang sudah tidak berdosa lagi, orang-orang yang bebas dari segala permasalahan dan orang-orang beriman atau saleh. Dengan pemahaman seperti ini, maka tidak salah bila ada orang yang berkesimpulan bahwa gereja adalah kumpulan ”para malaikat”, bukan untuk orang yang berdosa. Pemahaman seperti ini menurut saya agak keliru, sebab telah menghilangkan esensi dari gereja yang sebenarnya.

Kata ”gereja” berasal dari bahasa Portugis ”Igreja”, dalam bahasa Yunani disebut Ekklesia, yang berarti persekutuan orang-orang percaya yang terpanggil keluar dari kehidupan yang gelap masuk ke dalam terang Tuhan yang ajaib dalam suatu persekutuan, yakni Gereja Tuhan ( 1 Petrus 2:9). Di dalam perkumpulan ini juga terdapat orang-orang yang belum sungguh-sungguh bertobat atau masih belum percaya kepada Yesus secara sungguh-sungguh, namun sudah tergabung dalam denominasi tersebut (Mat. 13:47-48; 1 Kor. 15:2; Why. 2:2, 9, 14, 15, 16,; 3:9).
Kadangkala sebagian gereja mengabaikan pemahaman bahwa di dalam gereja hadir orang-orang yang belum sungguh-sungguh bertobat, orang-orang yang memerlukan waktu yang cukup lama dalam menggumuli imannya, sebelum ia dapat memutuskan menjadi orang Kristen sejati atau kembali kepada kehidupan lamanya serta orang-orang yang memerlukan proses yang cukup panjang dalam menumbuh kembangkan imannya. Kalau gereja tersebut menyadari akan hal ini, tentu gereja tidak akan ”lebih kejam atau lebih sadis” dalam menerapkan disiplin gereja (hal inilah yang sangat nampak), tetapi sebaliknya gereja akan menjadi tempat orang berteduh dikala badai hidup menghadang, tempat orang mengadu dikala segala permasalahan datang silih berganti, tempat orang menemukan damai dikala damai sudah tidak bisa ditemui lagi di dunia ini dan sebagainya. Sebab bukankah gereja merupakan saksi Kristus yang nampak dan hidup, yang tidak hanya sekedar hadir, tetapi membawa misi keselamatan dan damai sejahtera dari Allah?, kecuali bila gereja tersebut telah berubah fungsi sebagai tempat bisnis, tempat berdagang, tempat reuni anggota keluarga atau kelompok tertentu, tempat mencari nafkah dan sebagainya.

Kemajuan jaman yang seakan-akan sudah tidak terbendung lagi, baik di bidang ilmu dan pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya, susahnya mencari pekerjaan, sifat egoisme antar pribadi maupun kelompok, di mana orang hanya mementingkan dirinya atau kelompoknya saja, tanpa adanya rasa peduli akan sesama, sudah seharusnya menjadi bahan pemikiran gereja dalam membuat atau menerapkan kembali disipilin gereja yang sudah baku dan terlalu radikal.

Disiplin gereja menurut saya juga penting, tetapi jangan sampai disiplin gereja yang dibuat dan diberlakukan, lebih kejam, lebih sadis dan tidak manusiawi. Mendisiplinkan orang dalam disipilin gereja, bukan untuk mengeluarkan orang dari keanggotaan gereja, meminta denda atau korban tebusan, bukan untuk membuat orang tidak pergi ke gereja dalam jangka waktu tertentu, bahkan sampai-sampai malu untuk mengakui akan kelemahan orang lain, demi nama baik gerejanya. Sikap-sikap seperti inilah yang harus dihindari. Gereja bukan tempat mengasingkan orang atau tempat mengadili orang, tempat mempermalukan orang, tempat memeras orang lain yang memiliki kelemahan, yang dalam proses pendewasaan iman, dan yang sedang menggumuli imannya.

Gereja harus berpikir kritis dalam hal ini, jangan sampai gereja lebih kejam dan ”menyesatkan” diri dalam pengajaran teologia seseorang yang kita anut sampai turun-temurun, sehingga gereja lupa melihat kebenaran-kebenaran lain yang terabaikan.
Yesus Kristus Sang Kepala Gereja tidak pernah membuang dan merajam orang-orang berdosa, seperti perempuan yang tertangkap berzinah (Yoh. 8), perempuan yang meminyaki kaki-Nya dan sebagainya, Ia sangat manusiawi meskipun Ia Allah, mengapa?, sebab Ia datang bukan untuk orang-orang yang menganggap diri benar, saleh, kudus, sudah jadi malaikat kecil, tetapi untuk orang yang berdosa, yang memerlukan-Nya sebagai Sang Jurus’lamat, yang mengerti kelemahan dan kekurangan setiap orang berdosa.

Menyadari bahwa di dalam gereja ada orang-orang yang belum sungguh-sungguh bertobat atau masih belum percaya kepada Yesus secara sungguh-sungguh, namun sudah tergabung dalam denominasi tersebut, akan membuat gereja lebih berpikir manusiawi dan menghayati esensi akan kehadirannya di dunia ini. Dengan demikian, gereja tidak hanya menjadi tempat belajar - mengajar hal-hal yang bersifat telogis saja, tempat orang-orang dipermalukan di depan jemaat karena harus mengakui dosanya, tetapi juga belajar untuk menempatkan diri di dalam posisi sebagai orang-orang yang berdosa yang sama-sama memerlukan Sang Penebus dosa, sehingga di dalamnya orang saling menguatkan, saling membina, saling memahami kelemahan satu dengan yang lain, saling menasehati dan sebagainya, seperti yang Kepala Gereja, kehendaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar